
sumber gambar : http://static.guim.co.uk/sys-images/Guardian/Pix/pictures/2010/8/26/1282851634761/Hutu-refugees-at-UN-s-Gom-006.jpg
Akar Konflik dan Aktor yang Terlibat
Rwanda  adalah salah satu negara yang berada di benua Afrika, dan negara yang  penduduknya berkulit hitam ini memiliki sebuah sejarah yang tidak akan  pernah dilupakan Rwanda, bahkan dunia pun tidak akan melupaknnya.  Konflik ini menyebabkan terjadinya genosida terhadap suku lain yang  dilakukan salah satu suku di Rwanda, yang memakan banyak sekali korban.
Konflik  yang terjadi di Rwanda bukanlah konflik yang begitu saja terjadi hanya  dikarenakan kecemburuan sosial, ketimpangan ekonomi, atau semata–mata  adanya rasa superior yang dimiliki oleh salah satu suku yang ada di  Rwanda. Konflik dan gesekan yang terjadi antara dua suku ini sudah  berakar dimulai dari saat mereka dijajah oleh Belgia.
Permulaan  adalah saat Belgia menjadi penguasa di Rwanda, di mana dari masalah  inilah yang menyebabkan konflik di Rwanda terjadi, dan benar – benar tak  terlupakan. Saat itu, Belgia menstratifikasi atau membeda–bedakan suku  Hutu, Tutsi dan juga sekelompok suku kecil yaitu Twa. Belgia membuat  Tutsi, sebagai suku minoritas dibandingkan Hutu, menjadi suku yang lebih  superior. Mereka diberikan kewenangan untuk berkuasa dan memerintah.  Belgia memilih Tutsi karena dari sudut pandang Belgia, Tutsi terlihat  lebih ‘Eropa’ secara fisik untuk mereka. 
Saat  itu Twa tidak diperhitungkan karena sukunya yang sangat sedikit.  Akhirnya semasa Belgia menjajah Rwanda, Tutsilah yang memegang  kekuasaan. Sedangkan Hutu sebagai suku mayoritas tidak diberi kesempatan  untuk memerintah. Hal ini berjalan cukup lama dan dapat dipastikan  bibit kecemburuan sosial mulai tumbuh di hati para Hutu melihat Tutsi  sebagai minoritas dapat meguasai Rwanda.
Akhirnya  pada masa dekolonisasi Belgia meninggalkan Rwanda. Saat Belgia hendak  meninggalkan Rwanda, Belgia malah memberikan kekuasaan kepada Hutu.  Tentu saja keputusan ini sangat mengejutkan Tutsi yang telah begitu lama  memiliki kekuasaan di Rwanda. Tentunya Hutu sangat gembira dengan  keputusan Belgia, dan mereka mengambil alih kekuasaan di Rwanda. Pada  1961, terjadilah Hutu Revolution. Saat pemilu, pemerintahan sudah  didominasi oleh Hutu, hingga akhirnya Hutu terus menguasai pemerintahan  Rwanda.[1]
Masa  dekolonisasi membawa Tutsi pelan-pelan terpinggirkan dari Rwanda,  karena Rwanda telah didominasi oleh Hutu. Hal ini membuat Tutsi harus  mengungsi ke negara–negara tetangga sekitar Rwanda. Pada 1990, suku  Tutsi membentuk RPF (Rwanda Patriotic Front), yang dipimpin oleh Paul  Kagame. Mereka adalah sebuah kelompok militer yang terlatih untuk  merebut kekuasaan dari Hutu yang terus mendominasi Rwanda. 
Pada  1990 mereka menginvasi Rwanda dan meminta posisi dalam pemerintahan.  Namun Rwanda masih menolaknya. Pada 1993, Juvenal Habyarimana yaitu  Presiden Rwanda dari kalangan Hutu yang saat itu berkuasa ingin  memberikan posisi bagi para Tutsi serta melakukan perjanjian perdamaian.[2] Usaha ini dilakukan oleh Presiden dalam rangka pertanggung jawabannya  terhadap keadaan Rwanda, dan juga tuntutan dari RPF yang membuat  Presiden perlu mempertimbangkan nasib para Tutsi yang juga merupakan  bagian dari Rwanda.
RPF  yang dipimpin oleh Paul Kagame menyerang Rwanda dan meminta dibentuknya  perjanjian demi tuntutan mereka mendapatkan bagian dalam pemerintahan.  Mereka meminta dibentuknya Arusha Accords, yaitu perjanjian di mana  Presiden akan memberikan kesempatan dan juga tempat untuk orang Tutsi  memiliki posisi dalam pemerintahan. Namun para Hutu ekstrimis yang  sangat anti kepada Tutsi menolak kebijakan itu mentah-mentah dan sama  sekali tidak menginginkan adanya Tutsi di dalam pemerintahan. 
Pada  kenyataannya perjanjian ini tidak terimplementasi dengan baik. Akhirnya  pada saat Presiden Juvenal Habyarimana terbunuh saat pesawatnya  melintasi Kigali pada 6 April 1994, ini menjadi sebuah momentum bagi  Hutu ekstrimis dan menjadikannya alasan untuk menyerang para Tutsi dan  Hutu moderat yang memang berlawanan dengan Hutu.[3]
Peristiwa  kematian Presiden Habyarimana ini memang menjadi momentum besar bagi  para Hutu ekstrimis. Tetapi ada pula kemungkinan bahwa peristiwa ini  sengaja dilakukan oleh para Hutu ekstrimis demi melancarkan rencana  mereka membantai suku Tutsi.[4]
Pembantaian  suku Tutsi oleh suku Hutu dimulai. Terbunuhnya Presiden menjadikan  Rwanda seketika menjadi horor untuk para Tutsi yang dituduh telah  merekayasa pembunuhan Presiden, namun sampai kasus ini selesai ternyata  tidak bisa dibuktikan bahwa pembunuhan itu adalah perbuatan Tutsi.  Pembantaian dilakukan oleh para Hutu sekitar 100 hari. 
Pembantain  tersebut dipermudah dengan salah satu bentuk diskriminasi yang dibentuk  saat Hutu berkuasa yaitu kartu penduduk yang mencantumkan identitas  suku penduduk (siapa yang merupakan suku Tutsi akan mendapatkan  kesulitan dalam pekerjaan, pendidikan, dan lain lain). Para Hutu memblok  setiap jalan dan memeriksa orang–orang yang lewat dan membunuh setiap  Tutsi yang mereka temukan.
Jumlah korban diperkirakan sekitar 800.000 orang[5],  dibunuh dengan brutal dengan golok atau alat–alat pertanian lain oleh  para Hutu ekstrimis, bahkan pembunuhan yang mereka lakukan tidak segan –  segan dilakukan di gereja.[6]
Keadaaan  Rwanda pada saat itu memang benar–benar memprihatinkan. Keadaan ini  awalnya memang tidak didiamkan saja oleh kalangan internasional. PBB pun  akhirnya turun tangan untuk mengatasi masalah ini. Salah satu Jenderal  bernama Romeo Dallaire pun dikirim dengan beberapa pasukan oleh PBB  untuk membantu meredam konflik Rwanda. Berikut adalah kutipan yang  menjelaskan misi PBB di Rwanda:
“The  UN was in a position to curtail at least some of the bloodshed, given  its advance warning from Dallaire of the planned massacres and the  presence in Rwanda of a peacekeeping contingent under his command. The  peacekeepers were sent months earlier to safeguard a peace agreements  between the Hutu government and the Tutsi –led RPF Rebels. But at the  start of genocide, following the murder of ten Belgian peacekeepers, the  Security Council ordered the removal of the most of the UN peacekeeping  force. Dallaire’s remaining peacekeepers saved some live but, abandoned  by the UN and the international community, they were essentially  helpless in the face of the Hutu’s extremists lethal efficiency.”[7]
Selain suku Tutsi dan juga Hutu, dapat kita lihat bahwa PBB juga menjadi aktor yang terlibat di dalam konflik ini.
  Teori Konflik
Konflik  yang terjadi di Rwanda dapat dikategorikan kedalam konflik etnis. Hal  tersebut dapat kita lihat dari perbedaan definisi antara ras dan etnis,  sebagai berikut. 
1. Ras  adalah kelompok manusia yang dicirikan oleh kondisi biologis tertentu  seperti kemiripan fisik, warna kulit, dan struktur genetis.
2. Sedangkan  etnis adalah kelomok orang yang dibedakan oleh kebudayaannya. Etnis  merujuk pada ciri kultural, seperti cara pikir, sistem nilai, ritual,  dan bahasa.
Terdapat beberapa pendapat dari para ahli mengenai faktor yang dapat menyebabkan konflik. Menurut Donald L. Horowitz adalah :
“Ethnic  conflict is the result of an extraordinary presence of traditional  antipathies so strong that they can survive even the powerful solvent of  modernization”.[8]
Menurut Edward Azar terdapat beberapa faktor yang menyebabkan munculnya konflik internal :
1. Konflik  dipicu karena hubungan yang tidak harmonis antara kelompok identitas  seperti suku, agama, dan budaya tertentu dengan negara maupun dengan  kelompok yang berbeda itu sendiri.
2. Konflik  dikaitkan dengan kenyataan bahwa pemerintah telah gagal dalam memenuhi  kebutuhan dasar kemanusiaan sehingga terjadi proses pemiskinan secara  sistematis.
3. Karakter pemerintahan yang otoriter dan mengabaikan aspirasi akar rumput.
4. International  linkages yaitu suatu sistem ketergantungan yang terjadi antara suatu  negara dengan sistem ekonomi global, dimana pemerintah mengeluarkan  kebijakan yang memihak kekuatan modal asing daripada kepada penduduk  lokal.[9]
 Teori  yang tepat untuk digunakan dalam konflik yang terjadi di Rwanda adalah  teori kebutuhan manusia dan teori transformasi konflik.
1. Teori  kebutuhan manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam dan  disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia baik secara fisik, mental,  ekonomi dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan  identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi seringkali menjadi inti  pembicaraan. Sasaran yang ingin dicapai dari teori ini adalah :
a. Membantu  pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan  mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan  menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan  tersebut.
b. Agar  pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan secara adil  untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak, sehingga tidak ada pihak  yang merasa dirugikan. 
2. Teori  transformasi konflik berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh  masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai  masalah-masalah sosial budaya, politik dan ekonomi. Sasaran yang ingin  dicapai dari teori ini adalah :
a. Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan , termasuk kesenjangan ekonomi.
b. Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang diantara pihak-pihak yang mengalami konflik.
c. Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi dan pengakuan. [10]
  Dimensi Internasional dan Resolusi Konflik
Di  dalam konflik yang terjadi di Rwanda, tentu ada aspek dimensi  internasional di mana komunitas internasional turut berperan dalam usaha  meredam konflik tersebut. Seperti yang telah dijabarkan di atas, PBB  sebagai organisasi internasional telah mengirimkan pasukan penjaga  perdamaian ke Rwanda.
PBB  membentuk pasukan dengan misi menjaga perdamaian di Rwanda. Misi ini  bernama United Nations Assistance Mission for Rwanda, atau biasa disebut  UNAMIR. UNAMIR dibentuk berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB 872  (1993) pada 5 Oktober 1993 untuk membantu mengimplementasikan perjanjian  Arusha. Mandat UNAMIR adalah:
“.  . . to assist in ensuring the security of the capital city of Kigali;  monitor the ceasefire agreement, including establishment of an expanded  demilitarized zone and demobilization procedures; monitor the security  situation during the final period of the transitional Government’s  mandate leading up to elections; assist with mine-clearance; and assist  in the coordination of humanitarian assistance activities in conjunction  with relief operations.”[11]
Dari  kutipan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa misi UNAMIR  hanya sebatas membantu (assist) menjaga perdamaian di Rwanda, dan  mengawasi (monitor) keamanan Rwanda. UNAMIR sendiri dipimpin oleh Letnan  Jenderal Romeo Dallaire. 
Di  awal misi ini terbentuk ada sekitar 400 pasukan Belgia yang terlibat,  walaupun Rwanda merupakan bekas jajahan Belgia, dan PBB biasanya  melarang bekas penjajah terlibat di dalam misi perdamaian. Pada  akhirnya, Belgia menarik pasukannnya setelah 10 anggota pasukan  perdamaian di bawah UNAMIR terbunuh ketika melindungi Perdana Menteri  Rwanda.
Namun,  misi perdamaian ini dianggap gagal, karena tidak dapat mencegah  terjadinya genosida dan jatuhnya korban jiwa di Rwanda. Dewan Keamanan  PBB mengeluarkan Resolusi 912 dan mengurangi jumlah personel UNAMIR  menjadi 270 personel.[12] Dallaire sebagai pemimpin pasukan UNAMIR terus berusaha untuk menjaga  perdamaian di Rwanda walaupun dengan keterbatasan personel dan logistik.  Dallaire sendiri juga telah meminta tambahan personel, tetapi  permintaan ini ditolak.
Pihak  internasional, dalam hal ini DK PBB tampak menunjukkan keengganan untuk  membantu penduduk Rwanda yang terancam. Pasukan UNAMIR sendiri  hanya memiliki jatah makanan untuk jangka waktu dua minggu, persediaan  air hanya untuk satu atau dua hari, dan bahan bakar untuk dua atau tiga  hari. Persediaan amunisi dan medis pun sangat terbatas.[13]
PBB  dan negara-negara lainnya seperti Amerika Serikat dan Perancis hanya  mendukung evakuasi warga asing dari Rwanda, tapi tidak berusaha untuk  menyelamatkan penduduk Rwanda yang sedang terancam.
Genosida  ini berakhir ketika RPF berhasil mengambilalih ibukota Rwanda yaitu  Kigali pada Juli 1994. Tentara Perancis yang dikirim ke Rwanda juga  berhasil membuat zona aman di bagian barat daya Rwanda. 17 Juli 1994,  RPF mengalahkan pemerintahan Rwanda dan menyatakan akhir perang.[14]
PBB  berusaha untuk “membayar” kegagalannya di Rwanda dengan membentuk  Pengadilan Pidana Internasional [Internationan Criminal Tribunal for  Rwanda (ICTR)] melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB No. S/RES/955 tahun  1994. ICTR bertujuan untuk menuntut dan mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadinya genosida  dan kejahatan berat lain yang melanggar hukum humaniter internasional  di Rwanda atau oleh orang Rwanda di negara-negara tetangga selama tahun  1994.[15]
Berdasarkan resolusi 977 pada 22 Februari 1995, DK PBB menetapkan lokasi ICTR di Arusha, Tanzania.[16] Dari berbagai resolusi, DK PBB menargetkan ICTR untuk menyelesaikan  seluruh investigasi pada akhir 2004, menyelesaikan seluruh aktivitas  pengadilan pada akhir 2008, dan menyelesaikan seluruh kegiatan pada  2012.[17] 
Sejauh  ini, ICTR telah meyelesaikan 55 kasus, termasuk di dalamnya 9 kasus  naik banding dan 8 dibebaskan. 20 kasus masih dalam proses, 2 kasus  dialihkan kepada yurisdiksi nasional, 2 terdakwa meninggal sebelum  keputusan pengadilan keluar, dan 1 yang sedang menanti pengadilan.[18]
  Kesimpulan
Dengan  melihat konflik antar etnis yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994  tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk kolonialisasi yang tidak  terarah seperti yang dilakukan Belgia hanya akan meninggalkan bekas luka  di dalam hati dan kehidupan suku Hutu sehingga memicu timbulnya  perpecahan. 
Sebagai  sesama manusia kita memiliki banyak kekurangan dan juga kelebihan yang  telah diberikan oleh Tuhan. Tidak ada manusia yang sempurna untuk itu  klasifikasi, diversivikasi, dan stratifikasi terhadap suatu kelompok  etnis, ataupun ras, adalah hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan di  dalam kehidupan bersosial umat manusia. Hal tersebut hanya akan  menjadikan api dalam sekam yang suatu saat akan meledak ke berbagai  arah.
Dalam  konflik etnis di Rwanda, seharusnya dari awal Hutu dan Tutsi saling  bekerjasama dalam mencapai kesejahteraan hidup. Walaupun Belgia datang  untuk menjajah dan membuat kecemburuan sosial, dengan iming-iming  membantu memajukan Rwanda, namun seharusnya mereka tetap saling bersama.  Belgia sengaja mengadudomba keduanya agar terjadi perpecahan di Rwanda, sehingga Belgia dapat menguasai wilayahnya. 
Namun di saat genosida berlangsung, seharusnya kedua etnis ini berpikir,  bahwa kejadian masa lampau tidak baik untuk diingat di masa mendatang,  karena faktanya warga-warga tak berdosa pun ikut menjadi korban atas  tindakan genosida  tersebut. Seharusnya mereka malu terhadap dunia internasional, dan  sebaiknya mereka saling bergotong-royong untuk membangun perdamaian di antaranya agar keduanya saling sejahtera dan saling menguntungkan. 
Dilihat dari peran komunitas internasional dalam konflik Rwanda  ini, PBB yang merupakan organisasi internasional yang berperan penting  dalam menjaga keamanan dan perdamaian dunia, seharusnya lebih  bertanggung jawab dan mampu menyelesaikan konflik ini. Namun PBB  terlihat tidak sungguh-sungguh dan kurang tegas dalam membuat keputusan, terutama dalam pengiriman pasukan perdamaian PBB ke Rwanda. 
Seharusnya negara yang tergabung dalam PBB, khususnya anggota tetap Dewan Keamanan PBB, mampu bekerjasama dan mengesampingkan unsur  kepentingan masing-masing dalam penyelesaian konflik di Rwanda ini.  Namun faktanya, pembantaian massal ini tidak mendapatkan perhatian dari  Belgia, Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat. Padahal masalah ini  merupakan pelanggaran HAM, seperti yang sering dikemukakan di forum  internasional. Ini menunjukkan bahwa PBB hanya seperti wadah kepentingan negara-negara maju.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
- Azar, Edward. 1990. The Management of Protracted Social Conflict: Theory and Cases. Aldershot: Dartmouth.
- Fisher, Simon. 2001. Mengelola Konflik : Keterampilan, dan Strategi untuk Bertindak. The British Council.
- Horowitz, Donald L. 1985. Ethnic Groups in Conflict. Berkeley: University of California Press.
- Peskin, Victor. 2008. International Justice in Rwanda and The Balkans. New York: Cambridge University Press.
- Pottier, Johan. 2002. Re-imagining Rwanda: Conflict, Survival and Disinformation in the Late Twentieth Century. New York: Cambridge University Press.
- Schabas, William A. 2006. The UN International Criminal Tribunals: The Former Yugoslavia, Rwanda and Sierra Leone. New York: Cambridge University Press.
Internet:
- http://www.hrw.org/legacy/reports/1999/rwanda/
- http://www.unhcr.og/publ/PUBL/3ebfgbb60.pdf
- http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-13431486
- http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirM.htm
- http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm
- http://americanradioworks.publicradio.org/features/justiceontrial/rwanda_chronology.html
- http://www.survivors-fund.org.uk/assets/docs/education/historical-chronology.pdf
- http://www.unictr.org/AboutICTR/GeneralInformation/tabid/101/Default.aspx
- http://www.undemocracy.com/S-RES-1824%282008%29/page_1/rect_184,654_830,862
- http://www.unictr.org/Cases/tabid/204/Default.aspx
EE