Beranda » Kerajaan Safawi, Dari Sufisme Menuju Gelanggang Politik (3)

Kerajaan Safawi, Dari Sufisme Menuju Gelanggang Politik (3)

Kerajaan Safawi, Dari Sufisme Menuju Gelanggang Politik (1)
Kerajaan Safawi (ilustrasi).
Dengan kemampuannya dalam berdiplomasi, Haidar berhasil meyakinkan penguasa Syirwanid, Syirwan Syah Khalilullah, bahwa ia sesungguhnya memerlukan persetujuan untuk melintasi wilayah Syirwanid guna mengadakan serangan terhadap wilayah Kaukasus Utara.

Persetujuan ini tidak berlaku bagi Farrukh Yasar, penguasa Syirwanid sepeninggal Syirwan Syah Khalilullah. Haidar tetap dianggap sebagai ancaman bagi penguasa Alaq Koyunlu, Sultan Ya’qub—anak pamannya, Uzun Hasan.

Atas dasar itu, ketika untuk ketiga kalinya Haidar melancarkan serangan ke Kaukasus Utara dengan melintasi wilayah perbatasan Syirwanid pada 893 H/1488 M, ia diadang oleh pasukan Farrukh Yasar dan Sultan Ya’qub. Dalam pertempuran tersebut, Haidar menemui ajalnya.

Sepeninggal Haidar, anak-anaknya diasingkan ke Fars, kemudian kembali ke Ardabil ketika Alaq Koyunlu menghadapi kemelut politik internal akibat perebutan kekuasaan. Pada 900 H/1495 M, anak tertua Haidar, Sultan Ali, meninggal dunia di tangan penguasa Alaq Koyunlu, Rustam.

Kepemimpinan tarekat Safawiyah kemudian beralih ke tangan putra termuda Haidar, yakni Isma’il. Untuk melarikan diri dari kejaran tentara Rustam, Isma’il tinggal di Lahijan selama lima tahun sejak kakak tertuanya itu meninggal dunia.

Selama tinggal di Lahijan, Isma’il hidup di bawah pengawasan Karkiya Mirza Ali. Untuk mengajari Isma’il pengetahuan agama, Karkiya mendatangkan seorang ulama Syiah. Ulama inilah yang kemudian menjabat posisi penting sebagai sadr (menteri agama) setelah Isma’il berhasil mendirikan Dinasti Safawiyah.



Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Nidia Zuraya