Beranda » Suku Lembak Tengah Kepunggut dalam Catatan

Suku Lembak Tengah Kepunggut dalam Catatan

Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam Suku Bangsa di mana setiap Suku memiliki kebudayaan yang berbeda, begitu juga halnya dengan masyarakat Bengkulu. Selanjutnya masyarakat Bengkulu ini kalau di tilik dari segi bahasanya dapat di bedakan atas beberapa golongan yaitu Serawai, Rejang, Melayu Bengkulu (Pesisir), Enggano, Mukomuko, Pekal dan Masyarakat Lembak. Masyarakat Suku Lembak secara specifik masyarakat adat Lembak Suku Tengah Kepungut merupakan bagian dari masyarakat Bengkulu yang tersebar di Wilayah Rejang Lebong, namun sangat sedikit literatur atau tulisan tentang Suku Tengah Kepungut sehingga kesulitan untuk menjelaskan secara rinci tentang komunitas ini. Sebenarnya secara umum antara masyarakat Lembak tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain di Rejang Lebong, namun dari segi budaya umumnya terdapat beberapa dan perbedaan, jika ditinjau dari segi bahasanya antara masyarakat Lembak dengan masyarakat yang ada di Rejang Lebong terutama dengan Suku Rejang. Secara Administratif Komunitas Adat Suku Tengah Kepungut termasuk kedalam wilayah Kecamatan Kota Padang Kabupaten Rejang Lebong, dari beberapa versi komunitas ini bagian dari komunitas yang terdapat di wilayah Suku Bangsa Rejang, secara historis Marga ini bukan kelembagaan asli masyarakat adat yang berada di wilayah Suku Bangsa Rejang tetapi merupakan struktur kelembagaan yang di bawa oleh Asisten-Resident Belanda di Keresidenan Palembang J. Walland yang di pindahkan ke Bengkulu pada tahun 1861. Di Keresidenan Palembang pada waktu itu telah terdapat marga-marga teritorial yang merupakan peningalan Sultan Palembang yang kemudian diteruskan oleh Pemerintahan Jajahan Belanda. Waktu J Walland memerintah di Keresidenan Bengkulu (1861-1865), maka mulailah beliau membagi-bagi wilayah di Bengkulu ke dalam marga-marga dan Kepala Marganya di sebut dengan Pesirah.[1] Dari beberapa dokumen tulisan di dapatkan informasi bahwa Lembak Suku Tengah Kepungut merupakan bagian dari komunitas Adat Marga Lembak Beliti yang merupakan pecahan dari beberapa Petulai atau Clan Suku Rejang yang menyebar dan bertebaran di daerah-daerah Ulu Musi, Lembak Beliti. Informasi pemecahan suku ini merupakan hasil kemupakatan besar penentuan daerah-daerah, adat istiadat yang patut di patuhi, hak, kewajiban masing-masing anak suku di antarnya seluruh daerah yang didiami oleh suku bangsa Rejang dibagi dalam 4 luak (Lebong, Ulu Musi, Lembak Beliti dan Pesisir).[2] Kemudian keputusan musyawarah besar tersebut adalah terbentuknya Pemerintahan Depati Tiang Empat dengan Rajo Depatinya, penegasan pengakuan terhadap Suku Lembak adalah Empat pimpinan dari Sindang Empat Lawang dan Lima pemimpin dari Sindang Beliti ditugaskan menjaga musuh yang mungkin datang dari timur, sebelas pimpinan dari Renah Pesisir dan tujuh pemimpin dari Renah Ketahun ditugaskan menjaga mush yang mungkin datang dari laut dan tiga pemimpin dari Ulu Musi di daerah Rejang ditugaskan menjaga perbatasan sendiri. Sejarah ini kemudian menjadi kontradiktif di tingkat komunitas Adat Lembak Beliti dan pecahannya Lembak Suku Tengah Kepungut yang dengan argumen kedekatan wilayah dengan Sumatera dan Bahasa yang berbeda menyatakan bahwa mereka bukan bagian dari pecahan Suku Bangsa Rejang, Namun sebagian masyarakat mengakui telah terjadinya akulturasi budaya dan keinginan yang kuat untuk untuk tidak terkoptasi dengan Suku Induk yang di sebut dengan Petulai atau Tribes. Kondisi psikologis komunitas ini merupakan aplikasi dari sistem Petulai sebagai kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilineal dan cara perkawinan yang eksogami, dan dengan perinsip Kutai atau Pati Maku bahwa kesatuan lokal yang sering disebut dusun ini merupakan dusun atau kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri.[3] Masing-masing dusun atau Pati Maku di kepalai oleh seorang kepalanya dengan sebutan Proatin atau Pembarap atau Depati atau Ginde corak komunitas dalam struktur ini bercorak genealogis murni, tetapi perkembangannya banyak dusun yang sudah mulai teritorial, batas-batas wilayah kemudian menurut batas-batas alam (metal map) seperti gunung, sungai, kuburan dan kayu-kayu besar. Komunitas adat Suku Tengah Kepungut ini secara fisik terletak di 102º70’-103º00’ BT dan 3º.40’-3º50’ LS dengan jarak tempuh ke Ibu Kota Kecamatan sepanjang 7 KM sedangkan dari ibu Kota Kabupaten berjarak 65 KM dan berada pada perbatasan wilayah Administratif Kabupaten Rejang Lebong dengan Propinsi Sumatera Selatan. Komunitas yang terletak di wilayah Kecamatan Kota Padang ini terdiri dari 18 Desa administratif dengan jumlah penduduk 36.899 Jiwa dan secara administratif mempunyai luas 35.896 Ha, sedangkan luas wilayah Marga Suku Tengah Kepungut adalah 27.320 Ha. Pada masyarakat Suku Tengah Kepungut pengetahuan tentang batas wilayah adat di berikan secara lisan serta tutun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu (pacak umah, Ngeco) atau mantal map seperti sungai, mata air dan jenis kayu tertentu seperti pohon seluang abang dan pinang. untuk areal pemukiman di tandai dengan adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya (betas dusun, ousun). sayangnya hak pengolahan atas wilayah adat tersebut tidak dapat dibuktikan dengan batasan yang jelas apalagi sampai di akui oleh hukum formal, padahal dengan adanya batasan yang jelas dan terifikasi seperti peta keberadaan wilayah milik masyarakat adat dapat di mengerti dan di akui pihak lain. Sebagian masyarakat sepenuhnya menyadari hidupnya yang ketergantungan dengan alam, masyarakat Suku Tengah Kepungut mengelola dan memamfaatkan sumber daya alam sebaik-baiknya. berbagai larangan untuk menebang pohon tertentu misalnya pohon madu (sialang) dianggap sama dengan menghilangkan nyawa seseorang, menebang pohon belum waktunya dan menebang pohon di sepanjang badan sungai kayu celake demikian jenis kearifan yang ada pada masyarakat Suku Tengah Kepungut hal ini merupakan strategi guna untuk mempertahankan keberlanjutan sumber daya alam. orang Suku Tengah Kepungut percaya bahwa ada kekuatan lain di luar kemampuan dan tanda-tanda alam yang harus dihormati sebagai ujut kebersatuan dengan alam mereka mengenal dengan celake. Hingga saat ini upacara-upacara adat yang berkaitan dengan hal di atas masih sering dilakukan seperti upacara di seputar tanaman padi (harkah semangat padi), membuka ladang (ngeneu umeh, harkah), membangun rumah (ngeno umah, belubung) dan lain-lain. orang Suku Tengah Kepungut juga mengenal sistim begitai (bergiliran memimpin) yang berdasarkan falsafah bejenjang naek betangge tou’roun dalam sistim pemerintahan desa. pola ini bagian dari strategi untuk menyingkapi intervensi pemerintah melalui uu no 5 tahun 1979, pola begitai diganti dengan pemilu. di lain pihak upaya yang dilakukan golongan adat yang ingin mengembalikan hak-haknya tidak mendapat respon, akibatnya kaum adat menarik diri dari seluruh kegiatan baik pemerintah maupun sosial dan hanya melibatkan diri pada urusan keagamaan (perkawinan, kematian dan masjid). [1] Adatrechtbundel: XXVII [2] Abdullah Siddik, Op. Cit. hal 41 dan Van Royen, Adatverband en Bestuurshervorming in Zuid-Sumatera [3] M. Youstra, Minangkabau. Overzicht van Land, Geschiedenis en Volk, ‘S-Gravenage, 1923

Erwin Basrin