Beranda » Rajo Lelo, Pencabut Kelamin Belanda dari Kluet

Rajo Lelo, Pencabut Kelamin Belanda dari Kluet


Panglimo Rajo Lelo membunuh Kapten J. Paris dalam Perang Kelulum. Pemerintah daerah masih keliru menyebut asal-usul pahlawan kemerdekaan ini.

Di tengah padang ilalang di Desa Kelulum, Kampung Sapik, Kluet Timur, 3 April 1926, sepasukan pejuang Aceh menanti Belanda. Kala itu bulan suci Ramadan. Perang satu lawan satu pun dimulai. Pejuang Aceh bersenjata pedang dan pisau.

Dua puluh pejuang Aceh dipimpin Panglimo (Panglima) Rajo Lelo gugur. Di pihak lawan, 21 serdadu Belanda tewas. Para serdadu di bawah komando Kapten J. Paris. Ia pimpinan serdadu Belanda di wilayah Kluet hingga Trumon, Aceh Selatan. Insiden ini lalu disebut Perang Kelulum oleh Bukhari dkk. dalam bukunya Kluet dalam Bayang-bayang Sejarah.Mulanya, Panglimo Rajo Lelo kesulitan membunuh Paris. “J. Paris itu punya ilmu kebal intan, tidak mempan kena senjata tajam,” ujar Yusri, cicit kandung Panglimo Rajo Lelo.Akhirnya, diketahui titik kelemahan Kapten Belanda itu. Panglimo Rajo Lelo harus mencabut kelamin J. Paris. Barulah dengan mudah Rajo Lelo membunuh Paris.

Tatkala seluruh pasukan Belanda bersimbah darah dan J. Paris dipastikan mati, seorang anggota pasukan Rajo Lelo berkata kira-kira begini, “Sudah habis mati semua. Mari kita pulang.”

Rupanya ini pantangan. Sebelum menghadang serdadu Belanda, pasukan Panglimo Rajo Lelo sudah diingatkan tak boleh mengeluarkan kalimat apa pun selama bertarung, kecuali “Laa ila hailallah.” “Setiap melayangkan pedang ke arah serdadu Belanda, pasukan Rajo Lelo berteriak ‘Laa ila hailallah’,” ujar Yusri.

Entah karena pantangan dilanggar, ada satu anak buah Kapten Paris yang pura-pura mati. “Ia tembaki semua pasukan Rajo Lelo.”

***

Nama Panglimo Rajo Lelo jarang diulas dalam sejarah perjuangan Aceh melawan Belanda. Sosok Raja Lelo tenggelam dibandingkan kepopuleran Teuku Cut Ali. Ulama di Aceh Selatan ini telah ditabalkan sebagai pahlawan nasional.

Rajo Lelo hanya dikenal sebagian masyarakat Kluet. Selain sedikit yang menuliskan, beberapa catatan juga masih keliru menafsirkan asal-usul sosok panglima perang wilayah Kluet ini.


Dalam situs Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan, misalnya, disebutkan Panglimo Rajo Lelo bernama asli Banta Saidi. Dalam situs ini tercatat kelahiran Banta Saidi pada 1 Agustus 1780. Catatan ini lalu dikutip banyak orang tatkala menyinggung sekilas soal Raja Lelo.


Jika Raja Lelo dilahirkan pada 1780 dan Perang Kelulum terjadi 3 April 1926, usia sang panglimo ketika itu 146 tahun. Dalam catatan sejarah disebutkan Panglimo Rajo Lelo ketika itu masih muda. Adapun Kapten J. Paris usianya kala perang itu masih 37 tahun karena ia lahir pada 1889.

Banta Saidi juga bukan nama asli Panglimo Raja Lelo. Bantahan ini disebutkan Khairil Huda, pemuda Kampung Sapik, Kecamatan Kluet Timur, Aceh Selatan.


“Panglimo Rajo Lelo itu nama aslinya Ibnu Antaser,” kata Khairil. Beberapa buku yang memuat tentang Rajo Lelo, kata dia, banyak kelirunya. Termasuk buku karangan Darul Qudni, penulis tentang legenda Aceh Selatan.

Kekeliruan Qudni, kata Khairil, mungkin saja terjadi sebab penulis mengambil sumber orang Suak Bakung, Kemukiman Kandang, Kecamatan Kluet Selatan, sedangkan Panglimo Rajo Lelo, kata Khairil, warga Kampung Sapik.

Kekeliruan lain tatkala disebutkan kalau Panglimo Rajo Lelo anak buah Teuku Cut Ali. Menurut Yusri, hal ini juga patut diluruskan. Teuku Cut Ali memang memiliki banyak pasukan dari Kluet, tetapi Panglimo Rajo Lelo, kata dia, sama sekali tidak ada hubungan dengan Cut Ali.


“Cut Ali waktu itu di Bakongan. Panglimo Rajo Lelo panglima perang untuk wilayah Kluet,” ujar Yusri.

Perang Kelulum terjadi ketika sepasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten J. Paris mau mencari Cut Ali. Setiba di Kampung Sapik, Kluet Timur (dulu masih Kluet Selatan), kata Yusri, Belanda bersua Rajo Lelo dan pasukannya. Terjadilah perang.


Dari certa yang ia tahu, Yusri mengaku Panglimo Rajo Lelo kakek dari ayahnya. Sarjana Pendidikan ini mengatakan perang Rajo Lelo dan J. Paris kala itu berlangsung sebagai perang tragis dan bengis. Hasrat Panglimo Rajo Lelo dan pasukannya untuk membunuh serdadu kaphé Belanda memang membara


Kini, bukti sejarah berupa makam Panglimo Kluet itu beserta pasukannya dapat dilihat di Kampung Sapik. Makam itu kurang mendapat perhatian pemerintah setempat. Kecuali pada 17 Agustus 2011, kata Yusri, rombongan Bupati Aceh Selatan beserta Muspida sempat melihat-lihat kompleks pemakaman Rajo Lelo.

“Waktu itu ada seorang TNI, sudah tinggi pangkatnya, saya lupa namanya. Ia berkata pada saya, ‘Ini makam pahlawan? Kalau di kampung kami pahlawan itu sangat dihormati. Makamnya dirawat’. Sejak itulah, ada pemugaran dari pemerintah, tapi alakadar saja,” kata Yusri.

Ia berharap pemerintah setempat dapat memperhatikan makam-makam pahlawan di Aceh Selatan, tidak hanya Panglimo Rajo Lelo. Kepedulian terhadap sejarah merupakan cinta generasi terhadap kakek-neneknya terdahulu, di antaranya merawat makam para pahlawan.

AP