Beranda » Pesan Cinta Ibrahim Lamnga untuk Cut Nyak Dhien

Pesan Cinta Ibrahim Lamnga untuk Cut Nyak Dhien


Suami pertama Cut Nyak Dhien ini berperang lebih awal ketimbang istrinya. Pengkhianatan Habib Abdurrahman membuat Ibrahim Lamnga tewas dalam pertempuran di Gle Tarum.

Sepintas tidak ada hal menarik dari puluhan nisan tak beraturan di Desa Lamnga, Montasik, Aceh Besar, tersebut. Sebuah jalan kecil yang kerap dilalui sepeda motor membelah lahan tempat nisan-nisan itu berada.

Tidak ada tulisan di setiap nisan batu itu. Namun, di sinilah tempat peristirahatan terakhir salah satu Panglima Perang Aceh, Teuku Ibrahim Lamnga. Ia suami pertama Cut Nyak Dhien.

Kebenaran kuburan itu dipaparkan Teungku Hasyim Abdullah, imam masjid desa. Namun, Hasyim tidak tahu yang mana kuburan Ibrahim Lamnga.

“Keadaannya sangat memprihatikan. Selain tidak jelas yang mana, perawatannya juga sangat kurang,” ujar Teungku Hasyim kepada The Atjeh Times, Selasa 31 Juli 2012. Ia pernah mengusulkan agar semua kuburan dipugar, tetapi tak direspons pemerintah.


Menurut Hasyim, Ibrahim Lamnga berasal dari Lamnga Pasi di Kecamatan Krueng Raya. Hal ini sesuai dengan nukilan beberapa referensi sejarah. Teuku Ibrahim Lamnga memang disebutkan lahir di Desa Lamnga XXVI Mukim Aceh Besar, pada awal abad 18. Ia anak Teuku Po Amat, Uleebalang Lamnga XIII Mukim Tungkop, Sagi XXVI Mukim Aceh Besar.

Desa Lamnga adalah tempat kedudukan uleebalang. Pada masa Kerajaan Aceh Mukim XXVI Lamnga Aceh Besar adalah daerah bibeuh (bebas langsung) di bawah sultan. Wilayahnya mencakup hingga Mukim Ie Meule Sabang (Pulau Weh). Mukim Lamnga berada di pesisir pantai Kecamatan Krueng Raya.

Ketika Perang Aceh meletus pada 1873, Teuku Ibrahim Lamnga telah menikahi Cut Nyak Dhien. Pernikahan ini bahkan sudah dilaksanakan secara kawin gantung pada 1862 sewaktu Cut Nyak Dhien berusia 12 tahun. Mereka berkumpul kemudian setelah sang istri cukup umurnya.

Dalam rangka memeriahkan perkawinan putrinya, ayah Cut Nyak Dhien mengundang Do Karim atau Abdul Karim, penyair terkenal masa itu. Do Karim diminta menembangkan syair-syair keagamaan dan heroisme untuk mengugah semangat melawan Belanda.

Sewaktu perang meletus, ada catatan sejarah yang menuliskan kalau Teuku Ibrahim Lamnga dan Cut Nyak Dhien sudah dikaruniai seorang anak lelaki.

Suatu ketika Cut Nyak Dhien pernah bersyair untuk anaknya ketika ia merindukan Ibrahim Lamnga yang berada di medan perang.

Lakap syair itu kira-kira begini: “Hai buyung, hai anakku tersayang. Laki-laki engkau, ayahmu dan datukmu laki-laki pula, perlihatkanlah kejantananmu, orang kafir hendak menjajah kita, hendak mengganti agama kita dengan agamanya, agama kafir, pertahankan hak kita orang Aceh, pertahankan agama kita agama Islam.”

Cut Nyak Dhien meminta si anak mengikuti jejak ayahnya. Ia mengatakan kalau sang ayah sedang tidak berada di rumah karena berjuang mengusir kafir Belanda ke luar Aceh.

Namun, nasib buah hati Cut Nyak Dhien dan Teuku Ibrahim Lamnga ini tidak diketahui ujungnya. Dalam catatan sejarah diketahui Cut Nyak Dhien hanya memiliki seorang anak bernama Cut Gambang, hasil pernikahannya dengan Teuku Umar.

Teuku Ibrahim Lamnga kala itu berjuang bersama Nanta Setia, Uleebalang VI Mukim. Akhir Desember 1875, daerah ini diserang Belanda. Nanta Setia dan Ibrahim Lamnga berusaha mempertahankan, tetapi kalah. Mereka terpaksa mundur.


Kaum wanita, termasuk Cut Nyak Dhien dan anaknya, mengungsi ke Blang Kala. Di sinilah Cut Nyak Dhien bertemu suaminya untuk terakhir kali. Dua setengah tahun kemudian ia menyaksikan jenazah suaminya di Leupon. Ibrahim Lamnga tewas dalam pertempuran di Gle Tarum pada 29 Juni 1878 ketika bergerilya bersama ayah Cut Nyak Dhien.



Peristiwa penyerangan itu menurut penulis M.H. Szekely-Lulofs disebabkan pengkhianatan Habib Abdurrahman. Szekely adalah putri Lulofs, orang Belanda yang pernah bertugas di Sumatera Utara.

Dalam pertempuran itu, sejumlah anggota pasukan Dilamnga tewas. Para syuhada dibawa ke Desa Lamnga Montasik untuk dikebumikan. Tidak jelas, mengapa ada kesamaan nama antara Lamnga Pasi dan Lamnga Montasik.


Namun, pakar sejarah Aceh, seperti Rusdi Sufi dan M. Adli Abdullah, sepakat bahwa nama Lamnga erat hubungannya dengan keberadaan pasukan Dilamnga. Pasukan ini kerap jadi momok menakutkan bagi Belanda.

Semasa hidup, Teuku Ibrahim Lamnga memang dikenal dengan kepiawaian dalam berperang. Ia juga sosok berwibawa serta berilmu agama yang tinggi. Panglima perang ini taat budi pekertinya. Ibrahim juga begitu mencintai Cut Nyak Dhien.


Bukti cinta ini dikatakan Ibrahim ketika Cut Nyak Dhien mengungsi ke Blang Kala. “Mengungsilah! Semoga Tuhan melindungimu! Tujuh puluh pengawal bersenjata aku tinggalkan untuk mengawanimu. Sekalian mereka itu adalah kawan-kawan terpilih yang setia. Sekiranya kita tidak bertemu, kawan yang tujuh puluh orang itulah yang akan bersamamu berjuang di jalan Allah.” Pesan ini tertuang dalam buku M.H. Szekely-Lulofs, dalam bukunya yang diterjemahkan A. Muis, tjoet Nya Din: Riwajat Hidup Seorang Puteri Atjeh.


Sepeninggal suaminya, Cut Nyak Dhien memang menjalankan pesan perjuangan tersebut. Ia berjuang bersama Teuku Umar, suami keduanya

AP