Beranda » Merumuskan Falsafah Sejarah Aceh

Merumuskan Falsafah Sejarah Aceh

Sejarah banyak disebutkan dalam Alquran. Ini bermakna sejarah adalah salah satu hal terpenting untuk suatu umat. Setiap orang, suku dan bangsa memiliki sejarahnya sendiri. Termasuk Aceh, memiliki sejarah panjang sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Dan, timbullah pertanyaan, bagaimanakah seharusnya sejarah Aceh ditulis, siapakah yang harus menulisnya.

Sebagaimana Alquran menyebutkan bahwa Allah hanya memperbaiki nasib sebuah bangsa jika bangsa tersebut bersedia mengubahnya sendiri. Maka bila ingin sejarah Aceh yang sebenarnya, haruslah sejarah tersebut ditulis oleh orang Aceh sendiri. Tidak ada suku atau bangsa manapun yang bisa memahami Aceh selain orang Aceh sendiri.

Jika yang menulis sejarah Aceh bukan orang Aceh, tentu mereka memasukkan kepentingannya sendiri dalam tulisan yang disebut buku sejarah itu. Aceh tidak bisa mempercayai orang luar untuk menulis sejarahnya. Kita hanya bisa membiarkan orang luar menulis sejarah Aceh jika isi tulisannya membela kepentingan Aceh, hanya menulis yang baik-baik.

Namun, yang pernah terjadi malah sebaliknya, sesuatu yang lebih buruk daripada perang, yaitu sejarah Aceh ditulis oleh orang luar yang nonmuslim. Itu malapetaka. Boleh jadi tujuan mereka buruk. Walaupun sebutan akademik orang tersebut lebih panjang dari namanya sendiri, tetap kita ragukan kebenaran tulisannya tentang Aceh. Kita tidak bisa percaya.

Orang-orang luar tersebut seperti Snouck Hurgronje dari Belanda, Denys Lombard dari Perancis, dan Anthony Reid dari Selandia Baru. Ada hal-hal yang meragukan di dalam buku-buku mereka tentang Aceh, jika tidak kita sebut di dalamnya sengaja diselipkan dusta-dusta untuk memburukkan Aceh. Orang-orang terdidik dan peka di Aceh seharusnya segera meluruskan hal itu dan menulis buku sejarah Aceh sendiri. Ini perkara besar.

Untuk kebenaran sejarah kita, para peminat dan pakar sejarah, ulama dan budayawan harus bersikap berani segera merumuskan falsafah sejarah untuk Aceh. Pentingnya merumuskan ini supaya bisa mengantisipasi pendapat-pendapat orang luar yang sudah telanjur mereka masukkan ke dalam buku sejarah tentang Aceh yang mereka tulis.

Selain itu, pentingnya merumuskan falsafah sejarah dan kebudayaan karena telah begitu lama simpang siur pendapat serta majemuknya unsur paham yang mendukung kebudayaan Aceh. Unsur yang mendasari kebudayaan perlu diteliti kembali sehingga kebudayaan di Aceh pra-Islam penting ditemukan sebagai sebuah kesatuan sejarah.

Penting digalinya unsur sejarah pra-Islam seperti kebudayaan berbasis Animisme, Budha, atau Hindu di Aceh bukan untuk diikuti, namun untuk diakui dan dihargai sebagai sebuah fakta yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Generasi ke depan juga perlu tahu bagaimana Aceh sebelum menganut Islam, dan itu sebagai kekayaan bangsa.

Kelemahan pemahaman kebudayaan di Aceh selama ini karena latah menghubungkan antara kenyataan dengan keyakinan. Kelemahan tersebut telihat dari terbiarkannya beberapa sisi penting dari Aceh di dalam sejarah. Sejarah kita yang sudah ada hampir semua diambil dari sisi politik atau kesultanan. Ini sebuah pembantahan terhadap fakta yang sangat merugikan kita secara luas. Orang Aceh sebaiknya menulis sejarah sendiri.

Temukan kembali sejarah peradaban Islam sejak masa didakwahkan ke Aceh, temukan sejarah tentang pola pikir dan pola hidup di ujung utara pulau Sumatera ini sejak sebelum datangnya Islam dan Sebelum Masehi. Para ulama dan budayawan kita dituntut bekerja lebih keras untuk dapat segera menulis sejarah kembali sesuai dengan kepentingan Aceh.

Falsafah sejarah Aceh dalam bidang kebudayaan perlu diciptakan dengan rapi dan sistematis, sehingga mudah dipahami oleh generasi berikutnya. Falsafah tersebut harus bisa mempertahankan dirinya dalam menghadapi perkembangan zaman sehingga dapat terhubung dengan masa ribuan tahun ke belakang dan ribuan tahun ke depan. Memang ini bukan tugas mudah, tapi sebaiknya segera dilakukan oleh para budayawan Aceh.

Tentang falsafah sejarah pengembangan Islam di Aceh, sebaiknya ditulis terpisah dari sejarah politik atau kesultanan. Walau sebuah peristiwa misalnya terjadi dalam satu zaman dan ulama pembawa ajaran tersebut pun ada yang menjadi raja, tapi semua harus dirincikan per bidang lalu baru disatukan kembali sebagai sebuah kesatuan yang kuat. Jika langsung disatukan, maka generasi ke depan tidak bisa membayangkan dan menemukan kebenaran Aceh dari segala sisi.

Ulama memiliki tugas lengkap, bukan semata mengajarkan unsur peribadatan dan ketauhidan kepada para umat, namun mereka perlu melahirkan generasi penulis sejarah Islam di Aceh, baik di masa silam, masa kini maupun ramalan tentang sesuatu di masa mendatang. Media tulis, seperti buku adalah salah satu hal terpenting dari beberapa kekuatan umat Islam di Aceh. Di masa inilah kita perlu membentuk kekuatan terbuka yang sesuai dengan zaman agar bisa bangkit dan berjaya kembali seperti yang pernah dialami ratusan tahun.

Ulama yang merupakan guru umat dituntut memikirkan dan bertindak menguatkan agama yang kita anut. Ulama sebaiknya memakai strategi yang benar untuk bangkit dan memimpin umat dalam menguatkan pengaruh Islam. Ulama adalah pemimpin. Dayah-dayah di Aceh sudah waktunya menambah mata pelajaran agar kurikulumnya sama dengan dayah-dayah di masa Serambi Mekkah ini berjaya.

Pada masa itu dayah-dayah mengajarkan seluruh mata pelajaran yang berhubungan dengan semua unsur kehidupan dunia dan akhirat. Itu sebaiknya segera dikembalikan. Dayah di Aceh memiliki kurikulum lengkap sebagai mana universitas di negara maju lain kala itu, namun ketika penjahat dari Eropa Utara yang disebut Belanda atau Nedherland datang menghancurkan Aceh, mereka mengubah pelajaran di dayah-dayah untuk membodohi generasi kita. Belanda yang curang, sadis dan licik itu telah pergi. Kini kita bisa membangun Aceh kembali. Kita bisa bangkit.

Para sejarawan dan budayawan kita sebaiknya segera merumuskan falsafah sejarah kebudayaan Aceh. Para ulama di dayah-dayah salafi Aceh sebaiknya segera merumuskan falsafah sejarah Islam di Aceh. Hanya ini waktu kita, selagi perang tidak ada dan menikmati perdamaian. Jangan menunggu tahun depan, karena tahun depan ada tugas besar yang lain.

* Thayeb Sulaiman, akitivis kebudayaan di Pusat Kebudayaan Aceh Turki (PuKAT), Banda Aceh.