Beranda » [Kisah Ramadhan] Dan di Badar, Pertempuran yang Menentukan Itupun Pecahlah (2)

[Kisah Ramadhan] Dan di Badar, Pertempuran yang Menentukan Itupun Pecahlah (2)

Bagian 2:

Suasana kehidupan awal kaum muslimin di Madinah, 622-624 Masehi

Dengan bantuan kaum Anshar, kaum Muhajirin mulai merintis mata pencaharian baru, umumnya berdagang. Persaudaraan di atas kalimat Tauhid sungguh terasa indah dan menentramkan. Suku ‘Aus dan Khazraj, yang sebelumnya terlibat pertikaian berpuluh tahun, dapat hidup tentram berdampingan berkat bimbingan Rasulullah (saaw).

Rasulullah (saaw) yang pada awalnya hanya diminta untuk menjadi penengah bagi pertikaian antar suku di Madinah, sejalan waktu diterima sebagai kepala pemerintahan di Madinah. Beliau (saaw) membuat perjanjian (konstitusi) di antara berbagai suku yang ada di Madinah, termasuk kaum Yahudi. Piagam Madinah, demikian dinamai konstitusi itu, dapat dikatakan sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah kemanusiaan. Isinya perjanjian perdamaian di antara kaum muslimin dengan berbagai kabilah (suku) di Madinah, termasuk kaum Yahudi yang ada di sana, serta untuk menjaga keamanan dan ketertiban di Madinah.

Tak semua berjalan ideal, memang, pertumbuhan kaum Muslimin menghadapi berbagai kendala. Salah satunya adalah adanya sekelompok orang yang mengaku muslim, namun dalam hati mereka sebenarnya mengingkari bahkan memusuhi risalah Islam dan kaum muslimin. Dikenal sebagai kaum munafiqin, pemimpinnya adalah Abdullah bin Ubayy. Dia adalah orang yang sebelum kedatangan Nabi (saaw) berambisi untuk menjadi pemimpin (raja/pangeran) di Madinah. Maka dengan diterimanya Nabi (saaw) sebagai penengah antar suku dan kemudian kepala pemerintahan, posisi Abdullah bin Ubayy pun tersingkirlah dan ini yang menyebabkan kebenciannya pada kaum muslimin, khususnya pada Rasulullah (saaw).

Sementara di Mekkah, kaum musyrik Quraisy tak pernah sedikit pun merasa nyaman dengan keberadaan, apalagi pertumbuhan kaum muslimin di Madinah, walau mereka (kaum muslimin) sudah meninggalkan kampung halaman mereka sendiri (Mekkah), karena penyiksaan yang dilakukan Quraisy. Kaum Quraisy khawatir bahwa kalau dibiarkan, maka pengikut Muhammad (saaw) akan terus bertambah di seluruh pelosok semenanjung Arab. Maka mereka pun mulai memanfaatkan keberadaan kaum munafiqin di Madinah, untuk memecah belah kaum muslimin dan mengusir mereka dari Madinah. Mereka memanfaatkan Abdullah bin Ubayy, tokoh munafiqin. Mereka mengirim surat berisi ancaman kepada Abdullah bin Ubay, untuk mengusir Nabi (saaw) dari tanah Madinah.

Namun Nabi (saaw), mendengar kabar tentang surat tersebut, mendatangi Abdullah bin Ubayy dan mengatakan apakah dia (Abdullah) tega mengkhianati dan mengusir saudara-saudaranya sendiri (kaum muslimin di Madinah). Takut kalau pendukungnya nanti akan berbalik memusuhinya, Abdullah bin Ubayy pun akhirnya mengurungkan niatnya, namun perasaan benci dan dendam masih tetap terpendam dalam hatinya, dan dari waktu ke waktu terwujud dalam bentuk berbagai gangguan dan ancaman terhadap kaum muslimin.

Nabi (saaw) menyadari bahwa kaum musyrik Quraisy di Mekkah tak akan pernah berhenti berusaha menghentikan risalah Islam, yang sejak Hijrah tumbuh pesat di Madinah. Pertumbuhan yang pesat, karena dalam waktu singkat sejak Hijrah, hampir seluruh penduduk Madinah saat ini memeluk Islam, kecuali kaum Yahudi. Keadaan hubungan dengan Mekkah yang masih tegang ini membuat Nabi (saaw) berusaha selalu berada dalam keadaan siaga. Karenanya dari ke waktu Nabi (saaw) mengirimkan patroli (saryah) ke perbatasan Madinah untuk mengawasi kemungkinan adanya serangan tiba-tiba dari Quraisy.

Patroli yang dikirimkan Nabi (saaw) umumnya bertemu dengan kafilah Mekkah yang sedang berjalan ke arah Syria (Syams) atau dari Syria kembali ke Mekkah, untuk keperluan perdagangan. Madinah dilewati oleh rute perjalanan itu (lihat peta di akhir tulisan ini). “Patroli Madinah” ini biasanya tidak melakukan penyerangan apabila kafilah yang dijumpai adalah kafilah dagang dan bukannya pasukan Mekkah yang hendak menyerang Madinah.

Kecuali satu insiden di Nakhlah 1), patroli Madinah tak pernah mengalami kontak senjata dengan kafilah Quraisy. Nabi (saaw) sendiri berpesan pada patroli itu agar tidak menyerang kecuali kalau didahului oleh pihak lawan (Quraisy). Sampai suatu saat di bulan Ramadhan tahun 2 Hijriah, lewat di perbatasan Madinah sebuah kafilah dagang Quraisy yang besar, yang kemudian menjadi sebab terjadinya pertempuran pertama dalam sejarah Islam.



Ramadhan, tahun 2 Hijriah 2) (624 Masehi)

Nabi (saaw) mendapat informasi bahwa sebuah kafilah dagang milik Quraisy tengah dalam perjalanan pulang dari Syria, menuju Mekkah. Kafilah yang dipimpin oleh Abu Sufyan (salah satu pemimpin Quraisy) ini dikatakan sebagai sebuah kafilah terbesar yang pernah dimiliki Quraisy, karena tak kurang dari 50.000 dinar diinvestasikan pada kafilah ini, yang dimiliki bersama oleh hampir semua kaum Quraisy, laki-laki dan perempuan. Keuntungan yang didapat dari perdagangan kafilah ke Syria ini direncanakan sebagai modal untuk memerangi kaum muslimin di Madinah.

Nabi (saaw) berniat memberi pelajaran pada kaum musyrik Quraisy, agar tidak berani mengganggu kehidupan muslim di Madinah. Gangguan suku Quraisy terhadap kehidupan di Madinah salah satunya terjadi di Badar (dikenal sebagai Badar ‘Ula), di mana sekelompok Quraisy menyerang tanah gembalaan di sebuah tempat di Madinah dan merampas sejumlah ternak dan kambing milik Nabi (saaw). Di samping itu niat Nabi (saaw) ini pun dilatarbelakangi oleh adanya perampasan oleh kaum Quraisy terhadap harta milik kaum muslimin yang berada di Mekkah ketika mereka melakukan hijrah. Maka Nabi (saaw) pun merencanakan untuk mencegat kafilah Abu Sufyan agar kaum Quraisy tak lagi berani mengganggu kaum muslimin, dan mengambil sebagian kekayaan Quraisy yang dibawa kafilah itu.

Nabi (saaw) pun mengumumkan pada semua sahabat untuk mempersiapkan perbekalan untuk keperluan pencegatan ini. Nabi (saaw) hanya mengizinkan orang-orang yang memiliki tunggangan. Maka bertolaklah kaum muslimin, sejumlah (313) tiga ratus tiga belas orang, menuju ke arah Badar. Karena tujuan pasukan muslimin ini hanyalah untuk mencegat kafilah perdagangan dan bukan untuk tujuan peperangan, maka kaum muslimin tidak dilengkapi dengan persenjataan yang memadai.

Sementara itu, Abu Sufyan, dalam perjalanannya bersama kafilahnya ke Mekkah, telah mendengar rencana pencegatan oleh kaum muslimin ini sejak awal. Maka iapun mengirimkan utusan ke Mekkah untuk meminta bantuan dari Quraisy. Maka setibanya utusan ini di Mekkah dan mengumumkan ancaman terhadap kafilah Abu Sufyan ini (yang membawa sejumlah besar hasil perdagangan dari Syria milik Quraisy), kaum Quraisy pun bergegas mempersiapkan pasukan untuk menyerang kaum muslimin. Tak kurang dari 1000 orang pasukan bersenjata lengkap, 300 kuda dan 700 unta bertolak menuju Madinah (sebagai perbandingan, pasukan muslimin hanya terdiri atas 313 orang tanpa persenjataan lengkap dengan hanya membawa dua ekor kuda dan tujuh puluh unta). Pasukan Quraisy dipimpin oleh Abu Jahal, musuh terbesar kaum muslimin, dan didukung oleh para pemuka dan panglimanya. Selain berniat menyelamatkan kekayaannya yang dibawa kafilah Abu Sufyan, sebagian pemuka Quraisy (khususnya Abu Jahal) berangkat dengan keinginan yang sudah lama belum dapat diwujudkan, yaitu menghabisi kaum muslimin dan menghentikan risalah Islam.

Sementara Abu Sufyan, setelah mengirimkan utusan ke Mekkah, kemudian berniat menghindar dari pencegatan kaum muslimin. Ia pun melakukan perubahan rute perjalanan kafilah, yang tadinya akan melewati perbatasan Madinah, dibelokkan menjauhinya dan mengambil jalan pantai (Red sea). Dengan cara ini dia berhasil menghindar dari pencegatan kaum muslimin (lihat peta).

Kabar perubahan rute kafilah Abu Sufyan ini, dan bahwa Abu Sufyan telah selamat dan terhindar dari pencegatan kaum muslimin, sampai pada telinga Abu Jahal dan pasukannya. Dengan adanya perkembangan ini beberapa pemuka Quraisy pun ingin mengurungkan niat peperangan terhadap kaum muslimin. Dengan selamatnya Abu Sufyan dan kafilahnya dari pencegatan kaum muslimin, maka tak ada lagi gunanya meneruskan penyerangan terhadap kaum muslimin di Madinah, demikian pendapat sebagian pemuka Quraisy tersebut. Namun Abu Jahal, yang permusuhannya paling keras terhadap kaum muslimin, tidak setuju pendapat ini dan tetap bersikeras untuk menyerang kaum muslimin. Dia mengobarkan rasa permusuhan kaum musyrik Quraisy terhadap kaum muslimin. Maka kaum Quraisy pun akhirnya mengikuti seruannya, dan melanjutkan perjalanan menuju Badar untuk menyerang kaum muslimin.

Sementara Nabi (saaw), dalam perjalanannya menuju Badar, mendapat kabar perkembangan yang tidak menguntungkan bagi kaum muslimin ini. Larinya kafilah Abu Sufyan dari kejaran pasukan muslim, sekarang digantikan dengan bergeraknya pasukan besar kaum Quraisy menuju Badar. Sebuah perkembangan yang sama sekali di luar dugaan, dan jelas merupakan ancaman besar bagi kaum muslimin, yang jumlahnya jauh lebih sedikit dengan perbekalan yang minimal.

Maka Nabi (saaw) pun kemudian mengumpulkan para sahabat dan bermusyawarah dengan mereka untuk memutuskan langkah yang akan diambil. Sebagian sahabat mengatakan bahwa mereka tak memiliki kekuatan yang memadai untuk melawan pasukan Quraisy. Namun pemimpin Anshar, yaitu Sa’d bin Mu’adh (ra) berdiri dan mengatakan, bahwa mereka tak gentar dengan musuh dan akan mematuhi segala titah Nabi (saaw). Ia katakan bahwa seandainya Nabi (saaw) menyuruh mereka terjun ke laut pun, mereka akan lakukan. Ia juga katakan bahwa mereka tak ingin seperti kaum Nabi Musa yang berkata kepada Nabi Musa (as) ketika disuruh berperang, ‘Pergilah kamu dan Tuhanmu dan berperanglah, kami menunggu di sini’. Mereka (kaum muslimin) siap berperang bersama Rasulullah (saaw). Mendengar kata-kata Sa’d yang berani dan patriotik ini Nabi (saaw) merasa gembira, dan demikian pula para sahabat, mereka akhirnya terbangkitkan semangat dan keberaniannya, dan siap menghadapi pasukan Quraisy.

Sehubungan dengan kejadian ini, Allah Swt pun menurunkan wahyu sebagai berikut: “Dan (ingatlah) ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah3) untukmu. Tetapi Allah hendak membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir sampai ke akar-akarnya. Agar Allah memperkuat yang hak (Islam) dan menghilangkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya.” (QS Al Anfal: 7-8)

— bersambung (insya Allah) —

Peta perang Badar (sumber: Wikipedia)

- Perhatikan rute perjalanan yang diambil kafilah Abu Sufyan dari Syria menuju Mekkah, yang berbelok menjauhi Madinah dan kemudian menyusuri pantai laut (Read sea)

- Badar berada di antara Madinah dan Mekkah.

- Pasukan muslimin (pimpinan Nabi Muhammad saaw) bergerak dari Madinah menuju Badar, sedangkan pasukan Quraisy (pimpinan Abu Jahal) bergerak dari Mekkah menuju Badar.



Catatan kaki:

- Anshar: penduduk Madinah yang memeluk Islam (menjadi muslim), dan menolong kaum muslimin (muhajirin) yang berhijrah dari Mekkah ke Madinah.

- ‘Aus dan Khazraj: dua suku di Madinah (dulu: Yatsrib) yang berada dalam pertikaian ketika Nabi (saaw) diundang untuk pindah ke Madinah.

- munafiqin: orang-orang yang mengaku beragama Islam, namun dalam hatinya mereka mengingkari (kafir) terhadap ajaran Islam.

- musyrik: menyekutukan Tuhan dengan sembahan-sembahan lain (misalnya berhala-berhala).

- Quraisy: suku utama di Mekkah. Nabi Muhammad (saaw) termasuk di dalam suku ini. Kaum ini merupakan keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam (as) dari garis Nabi Ismail (as) yang mengajarkan agama Tauhid (Satu Tuhan), namun kemudian jatuh ke dalam penyembahan terhadap berhala (musyrik)

- saryah: patroli yang bertugas mengontrol dan mengamankan keadaan di perbatasan Madinah

- kafilah: rombongan perdagangan

- sahabat: para pengikut dekat Rasulullah (saaw).

- Badar: sebuah desa di luar perbatasan Madinah, 80 mil dari Madinah

- ra: radliallahu ‘anhu (semoga Allah ridha padanya)

- sebutan Nabi dan Rasulullah merujuk pada figur yang sama, yaitu Muhammad (saaw). Perbedaan sebutan/gelar tsb. dalam tulisan ini hanya karena perbedaan konteks kalimat.

1) Insiden di Nakhlah: insiden kontak senjata antara patroli Madinah dengan salah satu kelompok Quraisy, dimana seorang Quraisy terbunuh dan dua orang lainnya ditawan. Insiden ini terjadi di bulan Rajab, bulan yang tak boleh (haram) terjadinya pembunuhan. Nabi (saaw) sendiri menyesalkan kejadian ini, namun Allah Swt menurunkan wahyu (QS 2:217) yang menyatakan bahwa memang pembunuhan di bulan haram (Rajab) adalah dosa besar, namun ingkar kepada-Nya, menghalangi orang masuk Masjidilharam, dan mengusir penduduk dari sekitarnya (semua yang dilakukan kaum musyrik Quraisy terhadap kaum muslimin), lebih besar dosanya dalam pandangan Allah.

2) Tahun Hijriah: penanggalan yang didasarkan atas hijrah Nabi Muhammad (saaw) dari Mekkah ke Madinah.

3) Kafilah Abu Sufyan yang membawa dagangan dari Syria. Sedangkan kelompok yang berkekuatan senjata adalah pasukan Mekkah yang dimpimpin Abu Jahal.

Rujukan:

Khan, Majid Ali. Muhammad the final messenger. Sh. Muhammad Asfraf publication & booksellers. Islamabad. 1983.

Teddy Tedjakusuma