Beranda » Jepang < Belanda: Dalam Konteks Kejahatan Selama Menduduki Indonesia Pra Kemerdekaan

Jepang < Belanda: Dalam Konteks Kejahatan Selama Menduduki Indonesia Pra Kemerdekaan

Ada satu pertanyaan yang selama ini membuat gundah penulis. Pertanyaan itu muncul ketika penulis duduk di bangku sekolah menengah pertama. Pertanyaannya mungkin dianggap biasa tetapi perlu untuk mengetahuinnya bahwa apakah benar sebagaimana di dalam buku menyebutkan “walau Belanda menduduki Indonesia lebih lama daripada Jepang tetapi kebiadaban mereka tidak seburuk apa yang telah dilakukan Jepang ketika menduduki Indonesia selama 3,5 tahun.” Artinya Jepang dalam waktu yang cukup singkat bertindak lebih amoral daripada Belanda.
Pertanyaan di atas, secara jujur mulai muncul kembali di dalam benak penulis setelah ada pertanyaan dari hasil diskusi kuliah “apakah Jepang telah menghancurkan segalanya dari apa yang telah dibentuk kolonial sebelumnya?, yakni sebuah keteraturan”. Tentu penulis harus terlebih dahulu melihat pertanyaan itu dalam konteks apa.
Di dalam karangan J.C. van Leur, “Mahan di Meja Baca Hindia” beberapa kali ia mengungkapkan bahwa VOC bukanlan satu-satunya kekuatan terbesar di Hindia. VOC tidak akan bisa menduduki Hindia tanpa adanya kolaborasi dengan penduduk lokal. Artian dalam hal ini, VOC hanya bisa menguasai dalam sekup umum, bukan spesifik. Raja-raja kecillah yang menentukan keberhasilan mereka. Dan ini akan terus terjadi sampai pemerintah Belanda mengambil alih VOC sampai abad ke 20.
Dari keterangan di atas, penulis bisa mengasumsikan bahwa Jepang yang hanya berkuasa 3,5 tahun di Indonesia, mustahil untuk menguasai sebagian besar Hindia. Analoginya, Belanda saja yang disebut lebih 300 tahun menguasai Indonesia belum dapat dikatakan menjadi penguasa sebenarnya oleh van Leur. Lantas apakah tepat Jepang dicap menghancurkan keteraturan yang dibuat oleh Belanda sebelumnya.
Penulis yakin Shigeru Sato sangat objektif dalam menuliskan karangannya “Daily life in Wartime Indonesia, 1939-1949.” Bagi penulis suatu hal yang sangat sulit untuk menuliskan keburukan bangsanya sendiri. Tapi inilah Sato, dia mencoba menjadi orang lain dalam menuliskan karangannya. Sehingga terlihat jelas sekali bagaimana ia memaparkan sisi gelap Jepang selama masa pendudukannya di Hindia.
Tetapi lagi-lagi sebenarnya ada yang kurang di situ, entah apakah karena ruang tulisannya banyak dipersingkat sehingga yang dipaparkan hanya garis-garis besarnya saja, tetapi penulis menilai masih kurang spesifik. Ini terlihat sorotan Sato hanya di beberapa tempat yang penting di Hindia Belanda saja yang digambarkannya. Sehingga memperkuat asumsi bahwa sebenarnya Jepang hanya menguasai beberapa tempat penting itu saja.
Penulis berani berjudi bahwa Jepang sebenarnya selama menguasai Indonesia tidaklah seburuk ketika mereka menguasai Cina. Posisi Indonesia secara geografis adalah posisi yang paling rawan dari ancaman sekutu. Jepang tidak akan mungkin menyempatkan diri untuk menjadikan Indonesia sebagai koloni seperti halnya Belanda. Di dalam benak mereka hanya ada bagaimana membuat benteng pertahanan agar suatu saat siap menghadapi serangan sekutu.
Lantas pertanyaannya, keteraturan apakah yang dirusak Jepang sedangkan mereka sendiri sibuk menghadapi perang. Bukankah mengubah suatu keteraturan itu memerlukan waktu yang lama. Apalagi bila keteraturan itu mulai embodied, waktu yang sebentar tidak akan cukup untuk mendongkelnya. Di lain sisi, Jepang sudah tidak bisa berkolaborasi lagi dengan penguasa lokal. Mereka harus berdiri sendiri dan wilayah yang mereka kuasai pun tidak sedalam kolonial Belanda. Jadi sungguh berlebihan menganggap Jepang merusak dan berbuat lebih biadab daripada Belanda.
Asumsi penulis, Jepang dicap berbuat lebih biadab daripada Belanda hanya disebabkan persoalan waktu. Kehadiran Jepang saat itu tidak dalam waktu yang tepat karena bersamaan dengan bergolaknya pergerakan nasional. Orang Indonesia sudah banyak yang berpikir cerdas sehingga bisa menilai kebijakan Jepang selama menduduki Indonesia.

Robby Anugrah