Beranda » Candi Badut, Sebuah Peninggalan yang Tertinggal (Perjalanan Sejarah Bag. 1)

Candi Badut, Sebuah Peninggalan yang Tertinggal (Perjalanan Sejarah Bag. 1)



Sebab pangandikane Allah iku gesang lan ampuh landepe ngungkuli sarupane pedang kang landhep kiwa-tengen.
(Sebab perkataan Allah itu hidup dan tajamnya melebihi semua jenis pedang yang tajam kedua sisi)
Tumamane bablas nganti misahake nyawa lan sukma, balung lan sungsum, sarta ngukumi cipta lan osiking ati.
(Hujamannya menembus hingga memisahkan nyawa dan roh, tulang dan sungsum, serta mengerti akan pemikiran dan gundahnya hati).

Oleh karena larik di Ibrani 4 :12 ini, Kyai Sadrach, seorang misionaris pribumi (jawa), menjadi tergerak hatinya. Tidak hanya menjadi seorang penginjil, namun pangandikaning Allah telah menjadi kekuatan baginya untuk mengembara : dari Jawa Timur hingga Jawa Tengah, dan tentu saja.. berjalan kaki.
Suatu spirit luar biasa ini yang dicoba untuk ditiru oleh kami.. yah.. tentu saja kekuatan kami rasanya masih belum menduplikasi kekuatan Kyai Sadrach, atau orang-orang pribumi lain yang sejaman, yang dengan sukarena (sukacita) mengabarkan kabar baik untuk sebuah masyarakat, pemerintahan desa, bahkan kaum kolonial, tanpa mengusik tata adat dan paninggalan-paninggalan yang telah ada. Spirit ini tiba-tiba masuk ke dalam jiwa (tentu saja tidak dengan kejang-kejang), membuat kami ingin mengenal peninggalan-peninggalan di Malang Raya, sekaligus juga ingin menyelidiki kaitannya dengan ilmu yang telah kami pelajari.
Pengembaraan kami hari ini diawali dengan tujuan Candi Badut, salah satu candi yang tertua di Jawa Timur. Badut merupakan nama sansakerta (Bha-duyut) untuk pemujaan Dewa Siwa dan Parwati. Perjalanan dimulai agak terlambat karena kakak dengan nama Victor Kurniawan harus mengambil selimut, namun sia-sia, selimutnya tidak ada (he..).Akhirnya, terpaksa kami ’sedikit’ menghitamkan kulit di tengah Kota malang yang mulai beranjak panas ini.
Jalan-jalan yang berliku telah kami tempuh, dan semuanya mengarahkan kami pada gang-gang terobosan yang seakan tidak ada habisnya. Bagi saya, perjalanan ini adalah perjalanan yang sangat membingungkan. Sudah tentu, saya pribadi tidak akan dapat mengulang semua jalan pintas yang seperti labirin ini, dan nampaknya kak VK telah terampil dalam menggunakan ingatannya. Entahlah, nampaknya sia-sia 3 tahun saya ada di Malang, he.. he….
Semakin jauh, tidak ada tanda-tanda habisnya jalan aspal yang dilalui, hingga muncul sebuah pertigaan. Dengan sedikit membelok ke kiri, nampaklah suatu papan pudar yang bertuliskan “Candi Badut”, dengan tanda panah yang menunjukkan bahwa kami harus masuk sebuah gang beralaskan semen. Kasihan sekali papan itu, nampaknya semenjak orde baru tidak ada penggantian papan nestapa ini dan di pojoknya tertulis “Dinas P & K”, suatu instasi yang bertanggung jawab dengan peninggalan ini. Jalan semen yang kami lalui akhirnya membawa kami ke pos penjagaan sederhana. Seorang bapak menyarankan kami untuk mengisi buku tamu dan segera meninggalkan kami untuk meneruskan pekerjaan menyapunya.
Candi Badut dari Tampak Depan
Candi Badut dengan Pondasi Candi Pengiringnya (Sebelah Kiri)
Candi Badut rupanya tidak terlalu luas, hanya taman di sekitarnya menjadikan candi ini cukup luas. Dari sejarahnya yang tertulis di papan, candi ini merupakan candi yang hancur. Setelah pemugaran oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1937, akhirnya candi ini sedikit nampak utuh. Berbagai batu-batu peninggalan dijajarkan mengelilingi candi ini.
Jajaran Batu Candi Pengiring Badut
Setelah mengambil beberapa foto landscape, berjalan ke sisi selatan candi rupanya cukup menyenangkan bagi saya, karena nampak beberapa pasang Burung Madu Sriganti (Nectarinia jugularis) sedang memasuki musim kawinnya. Burung dengan ukuran 10-12 cm ini berterbangan di antara bunga-bunga bougenvile, dan saling mencumbu, untuk akhirnya terbang berdua, menjauh dari gangguan manusia. Selain itu, nampak juga Burung Cipoh Kacat (Aegthinia typhia), Tekukur Biasa ( Streptopelia chinensis), dan Sepasang Cabai Jawa (Dicaeum trochileum) sedang berpesta nektar dan serangga di sebuah pohon Bougenvile ungu raksasa dan Beringin Putih (Ficus benjamina var. varigata.), suatu tanaman khas pengayom sumber air..
Burung Madu Sriganti (Nectarinia jugularis)
Cipoh Kacat (Aegthinia typhia)

Kami juga menyempatkan berkenalan dengan penjaga-penjaga Candi Badut ini.
“Dulu, tempat ini sangat susah mas… pagar saja tidak ada. Orang bisa seenaknya masuk atau melintas. Kami bertugas menata taman dan menyiram bunga. Pada musim kemarau ini, kami sangat susah karena harus menimba air, dan tentu saja menyirami bergiliran dengan timba itu” Kata pak Arif menunjuk sumur yang tepat di bawah Pohon Beringin.
Beringin Putih dan Sumur
Arca Dewi Durga, salah satu yang masih selamat
Nampaknya, air juga menjadi isu utama di tempat ini. Selain itu, hati saya juga menjadi trenyuh saat ia menunjukkan gerobak sebagai sarana ia dan 3 orang kawannya menyiram bunga. Tidak ada selang air, dan tentu saja tidak ada pompa elektrik. Pegawai mulai tahun 1998 ini rupanya tidak sendiri, karena 3 orang temannya sedang melakukan hal lain. Salah satunya, Pak Sugeng, seakan membenarkan perkataan rekannya, hanya tersenyum-senyum kecut saat mendengar percakapan kami.
‘Sarana’ untuk menyiram Bunga
Di balik dinding tanaman adalah
sebuah ‘peradaban yang modern’
“Apalagi, kami ini honorer, mas…. Diantara kami, hanya satu orang yang sudah PN (Pegawai Negeri). Kami sudah mengajukan bantuan pompa dan listrik, bertahun-tahun lalu.. tapi, yaah…” ungkapnya seakan biasa menghadapi suasana sepeti ini.
Bagi saya, ini adalah sebuah guyonan yang lucu. Candi Badut adalah tetangga suatu Sekolah Alkitab yang besar, bahkan hanya terpisah dengan sebuah dinding tanaman. Andaikan saja sekolah yang bahkan menggunakan nama ‘Asia Tenggara’ ini berbagi air beberapa liter saja untuk kompleks candi ini, atau sedikit watt istrik, diantara ratusan liter air yang digunakannya untuk sebuah kolam air, atau besarnya watt untuk penerangan gedung-gedungnya… yah, mungkin hanya cukup andai saja…
Pak Arif, Sang Penunggu Candi
Kembali dari sana, tidak terlalu banyak yang kami bicarakan di jalan. Indonesia memiliki sebuah peninggalan dari kerajaan Kanjuruhan, tertua di jawa timur, yang berasal dari tahun 800 M. Salah satu bukti keberadaannya lolos dari himpitan zaman.. hingga era milenium ini… dan ada di hadapan keturunannya sekarang. Kami hanya berpikir saat menderu di jalan, dan pikiran kami, mungkin sama dengan pembaca saat ini…

Salam Lestari,
Penulis : Agung Sih K.
Aktivitas : Saat ini sedang memusingkan TA
Minat : Memotret burung-burung di udara