Oleh Ahmad Arif dan Agung Setyahadi
Perjalanan menyusuri tepian Samudra Hindia, dituntun catatan tentang kejayaan masa lalu, hanya untuk menemui kenyataan: kota-kota yang pudar cahayanya. Barus dan Singkil telah tamat. Padang, Bengkulu, dan Aceh berada dalam bayangan tsunami.
Barus di tepian pantai barat Sumatera pernah menjadi kota yang sedemikian populer. Para pelaut Arab pada abad ke-7 hingga ke-11 menyebut pelabuhan itu Barus, Fansur, Pansur, atau Panchur.
Catatan lebih tua dari para pelaut China menyebut Barus sebagai P’o lu. Disebutkan, pendeta Buddha, I Tsing, dalam perjalanan ke India pada abad ke-7 singgah di tempat bernama P’o-lu-shih di dekat Sribhoga. Ini merupakan pelabuhan terakhir setelah Selat Malaka sebelum menyeberangi Samudra Hindia menuju India.
Catatan tertua mengenai Barus terdapat dalam kitab Geographia yang dibuat Claudius Ptolomeus pada abad ke-2, berdasarkan keterangan para pedagang India. Ptolomeus menyebut Barus sebagai Barousai.
Di pelabuhan yang berada ditepian Samudra Hindia itulah kapal-kapal dagang dari sejumlah negara mencari komoditas berharga, seperti kapur barus, emas, dan madu. Di Barus saat itu diperkirakan berkembang komunitas dagang multietnis.
Temuan prasasti berbahasa Tamil pada 1872 oleh pejabat Belanda, GJJ Deutz, menguatkan hal ini. Prasasti bertahun Saka 1010 atau 1088 Masehi ini, antara lain, menyebutkan tentang perkumpulan dagang suku Tamil sebanyak 1.500 orang di Lobu Tua, Barus, yang memiliki pasukan keamanan dan aturan perdagangan.
Penggalian tim gabungan dari Lembaga Kajian Perancis tentang Asia (Ecole française d’Extrême-Orient/EFEO) Perancis dengan peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) pada 1995-2000 menemukan keragaman artefak di Lobu Tua, mulai dari barang-barang buatan China, India, hingga Arab.
Namun, jejak Barus tiba-tiba menghilang sekitar abad ke-12. Pada abad itu, jejak peninggalan Barus yang sebelumnya tersebar luas tiba-tiba lenyap.
Claude Guillot dalam buku Barus Seribu Tahun yang Lalu (2008) menyebutkan, kehancuran Barus karena serangan gergasi. Cerita lokal menyebutkan, gergasi adalah sosok raksasa yang datang dari lautan.
Setelah hilang tiba-tiba pada sekitar abad ke-12, Barus kembali muncul sekitar empat abad kemudian. Jane Drakard dalam An Indian Ocean Port: Sources for the Earlier History of Barus (1989) menyebutkan, nama Barus dan Fansur kembali disebutkan dalam berbagai catatan pada abad ke-16 hingga abad ke-17. Selain Barus, kota tetangganya, Singkil (dulu disebut Singkel), juga berkembang pesat. Kapal-kapal dagang Belanda, Inggris, dan Portugis berlomba ke Barus dalam perburuan rempah-rempah dan hasil hutan.
Jejak tsunami
Selama ini, hilangnya Barus secara tiba-tiba pada abad ke-12 masih menjadi misteri. Sosok gergasi yang disebutkan Claude Guillot juga mengundang banyak tafsir. Sonny Ch Wibisono, peneliti Puslit Arkenas, menyebutkan, banyak ahli menafsirkan sosok gergasi ini adalah bajak laut yang pada periode itu menguasai perairan Nusantara.
Namun, setelah gelombang tsunami menggulung pantai barat Aceh pada 26 Desember 2004, mulai muncul kesadaran baru bahwa bencana alam itu berperan penting mengubah jalannya sejarah di pantai barat. Petaka delapan tahun lalu itu membuka kesadaran tentang rapuhnya kota-kota yang berada di depan zona penunjaman lempeng ini.
Penelitian Kerry Sieh dari California Institute of Technology sejak 1994 menemukan, wilayah zona subduksi pantai barat Sumatera memiliki riwayat panjang gempa dan tsunami. Menurut dia, gempa dan tsunami pernah terjadi di wilayah ini pada 1381, 1608, 1797, dan yang terakhir tahun 1833.
Belakangan, pada 2008, Widjo Kongko, ahli tsunami dari Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dan Katrin Monecke dari Kent State University serta lima peneliti lain menemukan jejak tsunami raksasa pernah terjadi tahun 1290-1400. Dari temuan deposit tsunami yang tersebar luas, mulai dari Meulaboh hingga Thailand, Widjo memperkirakan, tsunami pada tahun tersebut sekuat dengan yang melanda Aceh pada 2004.
Apakah Barus yang tiba-tiba menghilang pada abad ke-12 itu disebabkan tsunami yang depositnya ditemukan Widjo dan timnya?
”Bisa jadi memang tsunami pernah melanda Barus,” kata Wibisono. Apalagi, dia menemukan, ada perpindahan masyarakat Barus pada masa lalu ke arah bukit. Temuan yang berusia lebih muda, sekitar abad ke-14, kebanyakan ada di sekitar Bukit Hasang.
Jejak tsunami ini pula yang kami temukan saat melihat lokasi penemuan peninggalan arkeologi di Lobu Tua. Hamparan pasir laut memenuhi kebun kopi dan kelapa, sejarak 2 kilometer dari laut. Kawasan ini pernah digali oleh arkeolog dari EFEO Perancis dan Puslit Arkenas.
Jauh dari pantai
Sebelum kedatangan kolonial Barat, permukiman pribumi di pantai barat Sumatera kebanyakan menjauh dari laut. Misalnya, Kota Padang di Sumatera Barat. ”Dulu, kota-kota di pantai barat Sumatera ada di hulu-hulu sungai, tidak di tepi pantai,” kata arsitek dan ahli tata kota dari Universitas Bung Hatta Padang, Eko Alvares.
Dia mencontohkan, Kota Padang dalam peta Belanda yang dibuat tahun 1781 menunjukkan, lokasi permukiman pribumi berada di sisi selatan Batang Arau di kaki Gunung Padang (Apenberg). Permukiman itu berjarak 1-2 kilometer menjauh dari pantai. Baru setelah kedatangan Belanda, lambat laun permukiman mendekati pantai.
Dalam pengantar buku Witnesses to Sumatra: A Travellers’ Anthology (1995), sejarawan Australian National University, Anthony Reid juga menyebutkan bahwa jantung peradaban Pulau Sumatera sebenarnya ada di pedalaman di sepanjang Bukit Barisan. Masyarakat pribumi Sumatera hanya mendekati pantai untuk berdagang.
Berbagai keping informasi ini semakin menguatkan tentang jejak tsunami yang barangkali berperan besar dalam evolusi bandar-bandar besar di pantai barat Sumatera pada masa lalu.
Bayangan tsunami pula yang saat ini menghantui Kota Padang dan Bengkulu, dua bandar terbesar di pantai barat Sumatera. Belajar dari sejarah, masa depan dua kota ini tergantung dari kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman gergasi atau raksasa dari laut.
cincinapi KOMPAS