Isaac Groneman sedang menyusun bukunya In den Kedaton te Jogjakarta ketika tiba-tiba menghentikan gerak jari-jarinya di atas papan ketik. Penulis itu bingung cara menemukan foto-foto yang cocok untuk beberapa tulisannya soal budaya Jawa. Tahun kalender waktu itu adalah 1888 dan ia sudah harus menyerahkan bukunya ke kalangan elit Belanda. Beberapa bulan sebelum tenggat waktu penerbitan buku budaya tersebut, Groneman mendengar dari seorang koleganya di dalam lingkup Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat bahwa ada seorang pribumi yang menggiati fotografi.
Groneman yang adalah dokter pribadi Sultan Hamengkubuwono VI berkenalan dengan juru foto itu dan langsung bekerja sama. Dalam buku berikutnya De Garebeg’s te Ngajogjakarta, ia menampung puluhan foto tentang kegiatan masyarakat Jawa kebanyakan menganut pola budaya hariannya. Hanya satu nama yang tertera sebagai pemegang hak cipta atas foto-foto ilustrasi bukunya itu: Kassian Cephas.
Di masa-masa itu kamera adalah benda superlatif yang hanya dimiliki kalangan atas. Kamera manual hanya dimiliki oleh wartawan dan sebagian dijadikan koleksi anggota kerajaan. Nyaris tidak ada pribumi yang pernah memegang benda berlampu kilat dan bisa menghasilkan citra dua dimensi hitam putih tersebut.
Kassian Cephas yang lahir 15 Januari 1845 di Yogyakarta kemudian diangkat sebagai anak oleh seorang Belanda bernama Frederik Bernard Fr. Schalk. Masa remaja ia lalui dengan tinggal sebagai pembantu rumah tangga untuk Ny. Christina Petronella Steven di Bagelen. Kesempatan itu digunakannya untuk mengintip beberapa kebudayaan masyarakat Belanda, termasuk fotografi. Bertahun-tahun berkeliling dengan mengagumi setiap hasil foto yang terbit di jurnal-jurnal, ia menjawab panggilan jiwanya untuk menggiati seni foto. Ia berpikir, ada banyak hal yang terjadi di sekelilingnya, dan orang-orang perlu tahu apa yang sebaiknya mereka ketahui. Semangatnya itu membawanya belajar fotografi kepada Simon Willem Camerik, seorang pelukis sekaligus juru foto untuk Sultan Hamengkubuwono VI. Proses tutorialnya berjalan hingga tahun 1871.
Setelah menjadi juru foto profesional karir Cephas menanjak. Terlebih ketika J.M. Pijnaker Hordijk, seorang Vrijmetselaar memberi hadiah indah kepada rekannya di Eropa. Hadiah itu berupa kumpulan foto karya Cephas tentang kekayaan budaya Indonesia, termasuk Candi Borobudur yang waktu itu masih berupa bukit tanpa dasar. Di sampulnya tertulis Souvenir von Jogjakarta, ditulis tangan oleh Cephas sendiri.
Cephas lantas dikenal sebagai satu-satunya juru foto pribumi yang bekerja profesional dengan bayaran sangat tinggi. Ketika membantu pemotretan tim arkeolog menemukan bagian dasar Borobudur, dengan sekitar 300 hasil jepretannya Cephas dibayar 3.000 gulden. Nyaris sepertiga dari keseluruhan biaya penelitian yang dikucurkan pemerintah belanda untuk Archaelogische Vereeniging.
Kemahirannya menguasai alat-aat peradaban modern kala itu langsung melejitkan nama Cephas hingga ke kerajaan. Puncak karirnya terjadi ketika ia diterima sebagai anggota KITLV, Lembaga Linguistik dan Antropologi Kerajaan Belanda atas dedikasinya memotret penelitian arkeologi. Ia pun diberikan status gelijkgesteld met Europeanen, hasil prosedur yang memungkinkan status kewarganegaraan Hindia Belanda. Dan pada tahun 1902, buku karya fotografinya yang dipersembahkan sebagai hadiah perkawinan ratu Welhelmina dan pangeran Frederik memberinya anugerah Orange-Nassau, gelar pejuang kehormatan atas kuasa langsung Kerajaan Belanda di beberapa daerah kolonial. Gelar sama diberikan kepada Isaac Groneman.
Pada November 1912, Kassian Cephas meninggal dunia setelah sakit berkepanjangan. Tak ada yang tahu pasti di mana sang maestro dimakamkan. Aktivitas memotretnya dilanjutkan oleh Sem Cephas, putranya dari Dina Rakijah. Putranyalah yang kemudian menggantikan posisinya sebagai juru foto Keraton.
Tak banyak yang tahu catatan karir Kassian Cephas sebagai juru foto profesional. Banyak jejak kehidupannya juga buram, terbengkalai, teralih-fungsi, dan sebagian besar belum ditemukan hingga hari ini. Meski tak pernah dihitung secara resmi, sejarawan meyakini Cephas telah menghasilkan lebih dari 15.000 foto semasa karirnya.
Melacak Jejak Cephas
Jejak-jejak kehidupan Cephas inilah yang ditelusuri oleh Cahyadi Dewanto, seorang dosen fotografi Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung yang memfokuskan disertasinya tentang jejak foto Kassian Cephas. Guna melengkapkan studinya, Cahyadi yang memulai penelitian sejak 2005 telah mengunjungi beberapa daerah yang pernah didatangi ataupun ditinggali sang juru foto. Hasil-hasil dokumentasi dan penelitian itulah yang digelar pada pameran foto dokumenternya bertajuk “Kassian Cephas” di Bentara Budaya Yogyakarta. Dalam sebuah ruangan berpenerangan kekuningan dipajang belasan foto dokumentasi, baik karya Kassien Cephas maupun hasil penelusuran Cahyadi sendiri atas beberapa jejak peninggalan sang juru foto, dari rumah sampai batu nisan.
Pameran yang dibuka pada Sabtu (21/7/2012) malam oleh Angling Kusumo itu membantu pengunjung untuk mengenali lebih jauh jejak kehidupan seorang Kassian Cephas sebagai juru foto kerajaan, dan lebih luas lagi memahami perjalanan dunia fotografi modern abad ke-19. Meski semua gambar yang dipajang bernuansa hitam-putih, tapi kualitasnya cukup baik untuk menceritakan beberapa wajah Yogyakarta dan Purworejo di Jawa Tengah saat masa pendudukan kolonial.
Setelah pintu dibuka dan puluhan pengunjung merangsek ke dalam ruang pajang, Cahyadi hanya melipat kedua lengannya kemudian bersandar di sebuah tiang tengah ruangan itu. Posisi itu memungkinkannya untuk melihat semua foto di setiap sisi dinding hanya dengan memutar badan atau menggeser kaki. Rambut gondrongnya masih basah karena keringat yang mungkin menjawabnya dengan secuil kepuasan atas pembelajarannya yang masih akan sangat panjang.
“Ini belum seberapa. Cephas ini sebenarnya sempat keliling dan direkrut beberapa perusahaan guna dokumentasi, tapi kebanyakan karyanya sudah dibeli orang,” papar Cahyadi kepada pewarta.
Saat ditanya rumor dicurinya nisan Kassian Cephas, Cahyadi tidak berani berkomentar banyak. “Nisannya ditemukan di sini juga, tapi tentang siapa yang mencuri, rasanya sulit dipercaya.” Nisan yang dimaksud adalah papan batu bertuliskan nama sang maestro, diduga hilang diambil kolektor benda kuno. Belakangan, melalui publikasinya Cahyadi mengungkapkan bahwa nisan itu sebetulnya hanya “diamankan” setelah makam dipindah.
Cahyadi secara khusus juga menandai Lodji Ketjil Wetan, salah satu jalan kecil yang kini adalah Jalan Suryotomo Yogyakarta. Jalan itulah yang dulu paling sering dilewati Kassian Cephas selama menekuni pekerjaannya sebagai juru foto. “Itulah mengapa disebut ‘Cephas Street’”, jelas Cahyadi menggambarkan sejarah panjang jalan yang kini sudah dijejali deretan toko itu. Lotji Ketjil dalam perjalanannya kemudian dijadikan nama toko fotografi oleh Cephas. Gedung itu kini sudah beralih fungsi ke beberapa bentuk bisnis.
Cerita tentang sang juru foto keraton kemudian membawa pengunjungnya membayangkan sejarah beberapa titik penting perjalanan Cephas di sekitar Keraton Yogyakarta. Salah satunya adalah kompleks toko Progo yang ternyata dulunya adalah Kerkrof, kawasan pemakaman Belanda. “Masih ada makamnya di sana, satu-dua. Tidak banyak orang yang tahu,” imbuh Cahyadi. Pengunjung yang menguping pun mengangguk-angguk nyaris tidak percaya. Lokasi yang sama diyakini jadi bekas rumah sang juru foto di masa lalu.
Perjalanan hidup Kassien Cephas yang sebagiannya masih misterius membuat banyak peneliti ingin mempelajarinya. Bagi Cahyadi sendiri, Cephas adalah pelopor fotografi profesional yang lahir dari kalangan pribumi. “Bisa dibilang, dia fotografer pertama yang orang Indonesia, dan diakui dunia,” tukasnya menyimpulkan.
Pameran fotografi “Melacak Jejak Kassian Cephas” berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta hingga 26 Juli.