ISKANDAR IDI | Foto : Tepekong Chin Sui Co Su (Vihara Murni Sakti) tempo dulu (REPRO) Sejak ratusan tahun lalu, komunitas Tionghoa sudah membangun “tali” budaya dengan masyarakat Idi. ______________________________ Jika Anda jalan-jalan ke Aceh pesisir timur, singgahlah sejenak di Gampông Jawa. Di sini terdapat bukti sejarah kedatangan komunitas Tionghoa pada ratusan tahun silam. Bukti itu bisa didapat di Idi Rayeuk, salah satu kecamatan di Aceh Timur. Di sini terekam jejak Cina tatkala memasuki Aceh melalui Kuala Idi. Jejak itu berupa bangunan khas Cina. Letaknya sekitar 200 meter dari Kota Idi. Orang-orang menyebutnya “Tepekong”. Bangunan yang terletak persis di tengah-tengah Bandar Idi itu merupakan rumah peribadatan agama Budha, Vihara Murni Sakti atau Tepekong Chin Sui Co Su. Di vihara itu, komunitas Tionghoa melangsungkan prosesi peribadatan sesuai dengan kepercayaan mereka. Menurut orang-orang, Vihara Murni Sakti sudah berdiri di sana sejak 1888 ketika Idi masih dipimpin oleh Ulee Balang Teuku Ben Guci. Dulu nama kota itu Bandar Idi. Kini disebut Gampông Jawa. “Vihara Murni Sakti itu sedang dalam tahap renovasi,” ujar Kok Bengho kepadaThe Atjeh Times Selasa pekan lalu. Warga Tionghoa berumur 72 tahun ini menetap di Gampông Jawa. Pada 1886, kata Bengho, vihara serupa dibangun di Pulau Penang, Malaysia. Baru dua tahun sesudah itu, Tepekong Idi dibangun. Seluruh bahan bangunan vihara didatangkan dari Penang melalui pelabuhan Kuala Idi. Di tembok Vihara itu kini tertera sejumlah nama warga Tionghoa yang pertama menginjakkan kaki di Aceh Timur. Nama-nama dengan bahasa Cina itu merupakan para pembuat Vihara Murni Sakti. “Saat itu, menurut para orang tua kami, ratusan kepala keluarga Tionghoa mendiami Bandar Idi dan sekitarnya sampai ke kawasan Bagok. Warga Tionghoa kala itu membuka kebun, peternakan, dan kedai,” ujar Kok Bengho yang memiliki nama Indonesia, Johanes Kosasih. Bengho merupakan seorang Tionghoa yang sampai kini masih menetap di Idi. “Warga Tionghoa datang ke Idi masa itu, ada yang berasal dari RRC (Republik Rakyat Cina) dan Pinang,” ujarnya. Namun, kata dia, lahirnya Peraturan Pemerintah nomor 10 Tahun 1948, mengharuskan warga Tionghoa meninggalkan Idi pelan-pelan. Sedikit demi sedikit, keturunan Cina ini menyusut terus dari Idi saat meletusnya Gerakan 30 September 1965. *** Merunut sejarah, ada yang mengatakan kata “Idi” berasal dari ucapan ie dit (air sedikit). Namun, ada pula yang menafsirkan dari kata ie dhiet (air bagus). Terlepas dari perbedaan muasal bahasa, Idi dulunya dikenal sebagai daerah pelabuhan umum. Pelabuhan Kuala Idi menjadi dermaga ekspor impor hasil perkebunan. Pelabuhan ini tercatat sebagai yang terbesar di Aceh kala itu. Canggihnya, pelabuhan ini memiliki jaringan kabel telepon bawah laut yang terhubung ke Pulau Penang. Disebutkan banyak sumber, Kota Idi pertama sekali dibuka oleh Panglima Nya’Sim, Teuku Ben Guci dan beberapa ulèe balang lain. Letak yang strategis ditambah kecanggihan kota ini, membuat perdagangan laut berjalan lancar. Idi masa itu telah memiliki transportasi laut yang lancar untuk berhubungan dengan Malaysia dan Singapura. Hal ini yang membuat beberapa negara asing tertarik masuk Idi. Dalam sejarahnya, bukan hanya Cina yang memiliki kemauan besar mendarat di Idi, tetapi juga Belanda. Namun, kedatangan Belanda di Idi menjadi sejarah baru bagi Aceh. Belanda bukan hendak menjalin hubungan perdagangan seperti surat yang pernah mereka sampaikan melalui utusan. Negeri Kincir Angin itu malah hendak menjajah Aceh untuk meraup hasil bumi di Tanah Serambi. Belanda menduduki Idi tidak lama setelah maklumat Perang Aceh 1873 dikumandangkan. Kala itu, Belanda berhasil menaikkan bendera mereka dan mendirikan benteng kokoh di Idi Rayek. Belanda juga memasang meriam di atas bukit (sekarang kawasan Peudawa). Meriam-meriam itu kemudian ditembakkan ke Pelabuhan Kuala Idi. Tentu saja sikap kaphé Beulanda ini mendapat perlawanan sengit dari rakyat Aceh di Idi, baik di Idi Rayek maupun di Idi Cut. Laki-perempuan bangkit mengusir penjajah Belanda. Pada April 1889, benteng Belanda dirusak pasukan pejuang Aceh di Idi. Berbeda dengan Belanda atau Jepang, Cina malah mengupayakan hubungan baik di bidang perdagangan dengan Idi. Karenanya, komunitas Tionghoa lebih diterima masyarakat. Cina kemudian mencoba membangun peradaban mereka di sana. Beberapa bangunan penting yang didirikan komunitas Tionghoa menjadi pertalian peradaban Cina dengan Idi. Selain vihara, di Idi juga terdapat pula “rumah besi” yang bahannya seratus persen besi. Besi-besi itu didatangkan dari Pulau Pinang dan dibangun langsung oleh komunitas Tionghoa. Menurut para orang tua di sana, Idi tempoe doeloe juga pernah mempunyai rel kereta api. Rel tersebut sengaja dibangun untuk mengangkut hasil pertanian dan perkebunan ke pelabuhan Idi guna diekspor ke Pinang melalui Selat Malaka. Sisa rel kereta api itu masih dapat dilihat di kawasan Gampông Bantayan.[]