Peran perempuan dalam panggung sejarah Indonesia cenderung terpinggirkan. Jejak langkah yang telah ditorehkannya nampak pudar karena terlalu mengedepankan pahlawan nasional laki-laki. Padahal, baik perempuan atau laki-laki, jika punya andil dalam memperjuangkan Indonesia, mereka mesti tetap didudukkan di tempat yang terhormat.
Atas hal itu, pendapat pakar sejarah Asvi Warman Adam dalam Koran Tempo (7/11/2011) menarik disimak untuk diapresiasi dan dikritisi. Asvi yang sehari-hari bekerja di LIPI sepertinya mengingingkan perempuan pun diberi tempat yang terhormat. Sayang, pendapat yang dikemukakannya mengandung beberapa kejanggalan. Malah, disadari atau tidak, Asvi malah menafikan peran perempuan dalam narasi sejarah Indonesia.
Seakan ingin menunjukkan kepakarannya, Asvi dengan gagah menyebutkan sederet nama yang sudah masuk album pahlawan. Disebutkan pula peran mereka dalam pelbagai bidang perjuangan hingga mendapat gelar pahlawan nasional. Dari yang memanggul senjata di medan lapang hingga yang memberdayakan kaum perempuan di dunia pendidikan.
Asvi melontarkan gagasan bahwa, tentulah tidak relevan sebetulnya membandingkan siapa yang lebih ‘pahlawan’ di antara pahlawan lainnya. Dalam titik inilah awal kejanggalan alur logika Asvi dalam menilai pahlawan nasional perempuan.
Bagaimana tidak, di satu sisi para pahlawan tidak relevan dibanding-bandingkan, tapi Asvi malah melanggar hal yang disuarakannya. Sebab sebelum memberi nasihat itu Asvi berseloroh, Kartini dan Tjut Nyak Dien adalah dua pahlawan perempuan yang paling populer sungguhpun sebagian warga Jakarta sangat mengenal Rasuna Said lebih sebagai nama jalan ketimbang perjuangannya.
Atas dasar apa seorang pakar sejarah sekelas Asvi menilai kepopuleran seorang pahlawan? Apakah Asvi sudah melakukan survei, kuisioner, observasi, atau apapun itu namanya dalam menentukan kepopuleran pahlawan nasional perempuan? Bila sudah, sebagai peneliti untuk mempertanggungjawabkan kajiannya, mengapa pula tidak menyantumkan prosentase besaran tingkat kepopuleran pahlawan nasional perempuan?
Sungguh miris, pahlawan yang mestinya dijadikan anutan malah dijadikan mainan statistik layaknya pemilihan miss-missan atau ratu-ratuan. Nilai juang dan jasa perempuan kok malah disamakan dengan komodo. Dengan laku seperti itu, tidak hanya para pahlawan nasional yang telah wafat, perempuan lainnya pun jadi objek yang selalu menjadi korban peradaban.
Kejanggalan itu seakan menegaskan bangunan tulisan Asvi yang, menurut pakar sejarah muda usia Fadly Rahman, terkesan mengkontestasikan etnik tertentu dalam album pahlawan nasional perempuan.
Saya sependapat dengan Asvi Warman Adam bahwa, Rohana Kudus adalah tokoh pejuang dalam bidang pendidikan yang memenuhi syarat sebagai pahlawan nasional. Saya juga setuju bahwa, Marsinah, seorang pejuang buruh perempuan yang tewas dalam menuntut hak, dapat diusulkan sebagai pahlawan nasional.
Tapi mengapa Asvi meragukan atau enggan menjadikan Inggit Garnasih sebagai pahlawan nasional perempuan? Padahal Asvi sendiri sangat mengagumi dan menghargai perjuangan Inggit. Malah kata Asvi, Inggit patut dijadikan suri teladan. Di sinilah kejanggalan tulisan Asvi jadi nampak nyata disengaja.
Alasan penolakan Inggit jadi pahlawan nasional yang diajukan Asvi sungguh banal dan bertolak belakang. Kata Asvi, bila Ibu Inggit diangkat sebagai pahlawan nasional, dalam album pahlawan itu terdapat keluarga Presiden Sukarno dengan dua istrinya (Fatmawati dan Inggit); dengan atau tanpa disadari bukankah itu dapat menganjurkan poligami, sesuatu yang menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Padahal, ditilik dari sisi mana pun Inggit sangat rasional jadi pahlawan nasional. Tapi sepertinya Asvi lali. Mungkin tidak hanya lupa, Asvi malah hendak mengubah alur sejarah.
Inggit tidak hanya banyak berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan dengan membantu Sukarno dan kawan-kawan. Sebagai perempuan yang menjadi ibu, Inggit juga mengasuh sejumlah kerabat dan putra-putri angkat, di antaranya Omi (Ratna Juammi) dan Fatmawati dengan kasih sayang sepenuh hati.
Cara pandang Asvi Warman Adam yang menolak Inggit diberi gelar pahlawan nasional terkait isu poligami untuk menghindari pro dan kontra di tengah masyarakat terkesan rancu dan tidak dapat diterima dengan logika sederhana sekalipun.
Bila isu poligami yang dijadikan alasan, justeru hal itu yang dilawan Inggit Garnasih. Inggit adalah tonggak perempuan yang menolak praktik poligami. Dalam memoar yang ditulis Ramadan K.H. tertuang dicandung mah cadu alias pantang dimadu.
Dalam budaya Sunda kata ‘cadu’ saya pikir melebihi dari makna pantang. Cadu atau pacaduan adalah ikrar seseorang yang jika dilanggar mendatangkan malapetaka, baik bagi dirinya juga lingkungannya.
Pertanyaan untuk Asvi, Sukarno yang hendak beristri dua dalam waktu bersamaan dan Inggit yang antipoligami, mengapa pula Inggit yang mesti dijadikan korban? Meragukan pahlawan nasional perempuan pada diri Inggit dengan isu poligami adalah kejanggalan yang memalukan dan memunggungi kenyataan.
Tapi, gelar pahlawan bukanlah segala-galanya. Sebab pengusahaan pemberian gelar pahlawan terus dilakukan tapi nilai-nilai dari kepahlawanan dan kemanusian tidak dipikirkan. Penganugerahaan gelar pahlawan terus digencarkan tapi pelbagai masalah yang melilit kita makin runyam.
Padahal, jika satu saja nilai-nilai kepahlawanan diterapkan dengan benar dan berkesinambungan saya yakin tidak ada lagi penduduk kita kesulitan mendapat makan yang halal dan menyehatkan. Jika nilai-nilai kepahlawanan dilarapkan dalam dunia keseharian saya makin yakin bahwa, tidak akan ada situs-situs dan benda cagar budaya dipindahkan atau dipugar diganti dengan pusat perbelanjaan, bendungan atau pemondokan super mewah (Djasepudin, PR, 7/11/2011).
Sumuhun, seperti yang dipraktikkan Inggit, ketika kebutuhan ekonomi mengalami masa-masa sulit, Inggit kreatif, dengan berdagang barang-barang produksi rumahan, termasuk menyulam pakaian dalam, meramu jamu, dan membuat bedak
Oleh karena itu, mengadaptasi dan melarapkan nilai-nilai juang sejumlah warga negara yang mewarnai perjuangan bangsa Indonesia merupakan agenda yang harus dikedepankan daripada bersusah payah meributkan atau menolak status kepahlwanan seseorang. Sebab, seperti kata-kata Inggit yang ditulis Ramadan K.H., kehormatan lebih berharga daripada istana.
(tulisan di atas dimuat di koran HU Pikiran Rakyat, Rabu 11 Juli 2012)
Djadjas Djasepudin