Begitu keras dan vokalnya perjuangan Ambedkar, sampai-sampai Gandhi yang menyebut mereka (kaum Dalit) sebagai harijan atau ”anak-anak Tuhan” pun dia kecam dan dia musuhi habis-habisan. Sampai ke forum internasional kala itu. Dengan memberi sebutan itu, kata Ambedkar, sama saja Gandhi meresmikan terbentuknya satu kasta lagi di bawah kasta Sudra dengan nama ”kasta anak-anak Tuhan”.
Praktik diskriminasi terhadap kaum Dalit ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-4, sering disebut juga sebagai “Apartheid terselubung India”, yang telah menyebabkan demikian banyak manusia mengalami segregasi dari manusia pada umumnya dan hanya menjadi kelompok manusia yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan paling kotor, rendah dan tidak berarti. Mereka juga dimarginalisasi, disingkirkan dari pergaulan sehari-hari bahkan sekedar menginjak bayangannya pun sudah menjadi kesialan bagi kasta di atasnya. Kaum Dalit dicap sebagai orang yang tercemar dan kotor sehingga tidak pantas hidup berdampingan dengan wajar dengan mereka yang merasa lebih tinggi dan bersih.
Perjalanan Hidupnya
Pengalaman masa kecilnya penuh dengan penindasan hanya karena ia seorang Dalit telah membentuk tekadnya untuk memerangi ketidakadilan itu. Sekedar contoh saat kecil ia pernah didorong dari gerobak karena pemilik gerobak tahu dia seorang Dalit, di lain waktu karena hausnya ia minum di sumur umum dan seseorang mengetahui hal tersebut akhirnya masa datang dan memukulinya hingga babak belur, demikian juga saat hendak mencukur rambutnya Bhim kecil (Ambedkar) harus menerima penolakan karena si tukang cukur tidak mau menyentuh orang outcaste, pernah saat hendak berangkat ke sekolah, karena hujan lebat Bhim berteduh di emperan rumah seseorang, saat penghuninya melihat serta merta dengan penuh marah ia mendorong Bhim sehingga jatuh di kubangan lumpur dan beserta semua buku-bukunya.
Pengalaman-pengalaman pahit dan menyedihkan yang sangat melecehkan eksistensi kemanusiaan seperti inilah yang harus dihadapi bahkan oleh seorang anak kecil yang terlahir di komunitas Dalit di India, bahkan mungkin banyak yang lebih pahit dari pengalaman Bhim kecil. Namun semua hal inilah yang membentuk kesadaran dalam diri Bhim dan menjadi bara yang terus menyala dalam dadanya untuk memerangi ketidakadilan ini.
Sejak muda Ambedkar sangat suka membaca buku, meski pun miskin tapi ayahnya sangat mendukung kegemarannya membaca buku bahkan terkadang ayahnya sampai meminjam uang untuk membelikan Ambedkar buku. Keluarga ini tinggal di daerah termiskin, rumah mereka sangat sempit hanya terdiri dari satu ruangan dan segala aktivitas dilakukan disitu mulai memasak, tidur, belajar dan untuk kambing peliharaan. Sejak sekolah dasar berbagai perlakuan diskriminasi dialaminya. Salah satu yang paling menyakitkan baginya adalah larangan untuk membaca Veda karena ia seorang Mahar.
Kegigihan Perjuangannya
Kecerdasan dan kegigihannya untuk belajar dan berjuang dalam ketertindasannya membawa ia dipertemukan dengan Raja Sayaji Rao Gaekwad seorang raja di negara Baroda yang memiliki pandangan liberal yang akhirnya memberikan beasiswa kepada Ambedkar. Sebelum memberikan beasiswa, sang raja bertanya kepada Ambedkar karena ia menyatakan akan mempelajari banyak subyek. “Apa yang akan kamu lakukan setelah mempelajari semua itu?” Ambedkar menjawab “Setelah mempelajari semua itu, saya akan menemukan penyebab dari keadaan komunitas saya sehingga saya dapat melakukan reformasi sosial”.
Karena mengetahui potensi yang dimiliki Ambedkar, Raja Sayaji mengirim Ambedkar ke Universitas Colombia-Amerika untuk meneruskan pendidikannya. Amerika yang liberal tidak mengenal untouchability hal ini sangat berkesan bagi Ambedkar, disini Ambedkar merasa diberlakukan secara sama dan ia bebas untuk belajar apapun, dan ia sempat mengutip Shakespear pada salah satu surat ke sahabatnya untuk mengungkapkan kebahagiaannya dapat belajar di Amerika “In the life of man now and again there is a swelling wave; if a man uses this opportunity, it will carry him towards his fortune”.
Pada tahun 1917, ia kembali ke India untuk mengabdi di pemerintahan Baroda sesuai janjinya sebelum menerima beasiswa. Ia kembali sebagai seorang yang berpendidikan tertinggi di India masa itu. Namun India tetaplah India dengan sistem kastanya yang diskriminatif sebagaimana masa sebelum ia belajar ke Amerika. Jadi meski Ambedkar menduduki jabatan penting di pemerintahan kerajaan Baroda namun ia tetap merasakan ketidakadilan. Bahkan pesuruh di kantornya pun tidak mau mengantarkan dokumen-dokumen yang Ambedkar perlukan secara langsung, tapi dengan cara melemparkan ke arahnya, tidak ada yang membawakannya air minum dan ia tidak diberi jatah tempat tinggal sebagaimana pegawai lain setingkatnya karena mereka tidak mau bertetangga dengan orang kasta rendahan.
Dua tahun kemudian, kembali ia melanjutkan pendidikan ke London dan Jerman sehingga akhirnya ia memiliki gelar M.A, Ph.D, D.Sc, menguasai bidang hukum, siap untuk beraksi, memasuki dunia politik dengan persiapan yang komprehensif bukan untuk kepentingan pribadi tapi kepentingan komunitasnya; kaum Dalit. Langkah pertamanya adalah membentuk organisasi bernama Bahishkrit Hitkarini Sabha (Komunitas untuk Kesejahteraan Kaum Tersisih) pada awalnya di wilayah Bombay, tujuannya adalah membangun asrama-asrama untuk mempromosikan dan menyebarkan pendidikan untuk kaum Dalit, membuat perpustakaan dan pusat pendidikan untuk pembangunan budaya dan mengkampanyekan penghapusan untouchability.
Usaha lain datang dari anggota Dewan di Bombay bernama Bole, seorang reformis sosial, yang mengajukan resolusi yang pada intinya menyatakan bahwa semua fasilitas umum negara seperti pengadilan, sekolah, rumah sakit, kantor, penginapan, sumur, tangki air dan sebagainya dapat digunakan oleh kaum Dalit. Resolusi ini disetujui namun pada pelaksanaannya kembali tertabrak hegemoni kaum Brahmin yang diuntungkan oleh sistem kasta ini, seperti di Kota Mahad di Maharashtra. Meski resolusi ini sudah ditetapkan tapi tetap kaum Dalit tidak diperbolehkan mengambil air di tangki umum.
Hal ini mengundang Ambedkar melakukan aksi di tangki air tersebut pada saat diadakannya Konferensi Kasta Tertindas di kota tersebut pada tahun 1927 yang diketuai oleh Ambedkar, sedang para peserta yang rata-rata aktivis dari kaum Dalit ini tidak hanya datang dari negara bagian Maharashtra tapi bahkan dari Gujarat. Di akhir konferensi diadakanlah aksi yang melibatkan tak kurang dari 10.000 orang, aksi damai yang dipimpin Ambedkar berjalan lancar hingga mereka mencapai tangki air Chowdar dan kemudian dipimpin Ambedkar mereka mengambil air dengan telapak tangan dan meminumnya.
Kembali Ambedkar merencanakan untuk mengadakan aksi bersama-sama pengikutnya ke tangki air tersebut, namun karena alasan hukum dan keamanan para pengikutnya akhirnya dibatalkan namun secara jalur hukum Ambedkar terus memperjuangkannya dan akhirnya tahun 1937 Pengadilan Tinggi Bombay memenangkan kaum Dalit untuk dapat menggunakan tangki air tersebut. Sebuah kemenangan kecil di tengah perjuangan untuk menghapus untouchability, menuntut persamaan, kebebasan dan keadilan bagi semua, namun penting sebagai titik pijak awal perjuangan.
Berbagai gerakan dilakukan Ambedkar dan jutaan pengikutnya untuk menuntut hak-hak mereka, gerakan massa, politik, hukum, bahkan gerakan diplomasi internasional. Karena sistem kasta di India telah menyebabkan mereka tidak memiliki hak ekonomi dan politik. Tak jarang Ambedkar harus berhadapan dengan Mahatma Gandhi yang memiliki cara pandang yang berbeda dalam hal untouchability ini.
Pada tahun 1935 Ambedkar membuat pernyataannya yang terkenal bahwa ia boleh lahir sebagai seorang Hindu tapi tidak akan mati sebagai Hindu, 12 tahun kemudian ia menjadi Menteri Hukum pertama paska kemerdekaan India namun setelah 4 tahun beliau mengundurkan diri dari kabinet. Sisa Hidupnya kemudian didedikasikan bagi pengembangan Buddhisme di India. Hal ini diumumkannya pada tahun 1954 dan dua tahun kemudian pada sebuah upacara di Nagpur, Ambedkar menjadi seorang Buddhis yang diikuti ratusan ribu pendukungnya saat itu tepatnya tanggal 14 Oktober 1956. Adalah U Chandramani, seorang bhikkhu senior yang menjadi pemimpin upacara saat Ambedkar menyatakan tiga perlindungan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Peristiwa ini adalah sebuah peristiwa besar yang begitu mengejutkan semua orang di India. Bahkan bagi umat Buddha di India, ini sangat berarti bagi kebangkitan Buddhisme di India.
Momentum Mengikis Kasta dengan Ekonomi
Dahlan Iskan dalam satu tulisannya menyatakan bahwa sampai sekarang para peneliti, Barat dan Timur, belum berhasil mengungkap dan menyepakati bagaimana sejarah lahirnya sistem kasta dulu. Dari berbagai literatur, tidak ada satu pendapat yang amat kuat mengenai asal-usul sistem kekastaan ini. Sistem empat kasta yang serupa sebenarnya terjadi juga di Iran (agamawan selalu dari kelompok Athravan, militer dari kelompok Rathaestha, pedagang dari kelompok Vastriya dan pekerja/petani dari kelompok Huiti), tapi mengapa hasilnya berbeda.
Ada yang menyebut awal mula terjadinya kasta-kasta itu akibat masuknya orang-orang yang berdarah Indo-Arya ke India dari wilayah barat laut. Inilah kelompok yang kemudian menempatkan diri sebagai lapisan teratas. Kelihatannya agak masuk akal karena selama itu pemilik darah Arya selalu merasa dirinyalah golongan tertinggi di dunia ini. Tapi, ada pendapat bahwa sebelum kedatangan mereka pun sebenarnya sudah ada sistem kasta itu di India Selatan, setidaknya dua kasta terbawah.
Penjajahan Inggris yang panjang (lebih dari dua abad) di India ternyata tidak bisa mengubah sistem ini. Bahkan, malah semacam meresmikannya karena ilmu Barat seperti statistik penduduk memerlukan penyebutan resmi untuk stratifikasi social msayarakat. Bahkan lagi, dalam sistem penjajahan itu, menjadi resmilah bahwa kasta tertentu sama dengan pekerjaan tertentu.
Selanjutnya Dahlan mengatakan, “Kini kita menyandarkan harapan pada percepatan kemajuan ekonomi akan mempercepat hilangnya sistem kasta itu. Setidaknya ”menyembunyikannya” ke bawah karpet, sebagaimana di bagian-bagian lain di dunia ini, termasuk di masyarakat kita. Bukankah sikap menggolong-golongkan orang berdasar tuan, pembantu, pegawai, pedagang, dan les miserables (kaum jembel) sebenarnya masih terus terjadi sampai sekarang -termasuk di sekeliling kita sendiri?”
Farid Wadjdi