Darah politik wanita yang kerap tampil di panggung politik dengan berpakaian kebaya ini menurun dari ayahnya. Sang ayah Majoor Bintang Albertus Louis/Lasut Waworuntu (1862-1925 adalah anggota Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda).
Semasa pemerintahannya Tiene menghadapi permasalahan yang besar pasca perang kemerdekaan. Manado dalam Perang Dunia menjadi sasaran pengeboman baik Jepang maupun sekutu. Akibatnya sejak akhir Perang Dunia di Manado hanya ada 5 gedung baru. Bangunan yang temboknya masih berdiri saja hanya tinggal 20 buah. Bangunan perkantoran lainnya rata dengan tanah.
Penduduk Manado pada 1950 sekitar 53 ribu orang. Sebagian besar tinggal di gubuk-gubuk yang terbuat dari bambu dan atapnya terbuat dari alang-alang. Selain masalah hancurnya infarstruktur kota dan perumahan rakyat, Tiene juga harus menghadapi persoalan pemulangan tentara KNIL. Pada 15 Agustus 1950 terjadi satu insiden di sebuah kapal di Pelabuhan Manado yang menyebabkan seorang serdadu KNIL tewas.
“Penyebabnya karena bekas anggota KNIL itu menolak barang-barangnya diperiksa oleh tentara yang bertugas melakukan pemeriksaan. Sehingga timbul cekcok dan tiba-tiba meletus tembakan, yang diikuti tembakan lainnya,” terang Tiene seperti yang dilansir Fikiran Rakjat 28 Agustus 1950 dalam kunjungannya ke kota Bandung untuk menghadiri Kongres Perumahan Rakjat Sehat.
Permasalahan lain yang diungkapkan Tiene ialah merosot jumlah laki-laki di kota Manado akibat perang. Berkurangnya laki-laki menyebabkan permalahan ekonomi yang mengganggu . Pasalnya tenaga untuk memanjat pohon nyiur susah didapat. Sementara perekonomian Minahasa pada waktu itu sangat bergantung pada kopra. “Keadaan ini menyebabkan demoralisasi di Manado,” tutur Tiene.
Kota Manado sendiri belum lama memiliki seorang Walikota. Pada masa penjajahan Belanda hingga 1947 Manado dijadikan kotapraja tak sejati (neo-stadsgemeente) dan merupakan bagian dari Daerah Minahasa. Baru pada 1947 Manado menjadi kotapraja dan walikota pertama adalah EW Warouw sebelum Tiene memerintah. Jadi boleh dibilang Tiene adalah walikota kedua di Manado. Ia memerintah hingga 29 Maret 1951.
Kejatuhan Tiene kontroversial. Menurut Antara dan Pikiran Rakjat itu dimulai ketika sebagai acting Walikota itu pada awal 1950 membangun 24 buah petak toko terletak di dekat pasar kota. Toko ini akan dibagikan sebanyak 12 buah untuk bangsa asing dan 12 buah untuk bangsa Indonesia. Dari toko jatah untuk orang Indonesia, empat buah di antaranya dibagikan ke 4 orang anggota dewan kotapraja (Pikiran Rakjat, 9 April 1951).
Tindakan Tiene menimbulkan reaksi keras dari kalangan partai dan pedagang-pedagang Indonesia. Mereka menggerakan demonstrasi dengan poster-poster diikuti pemogokan buruh kotrapraja. Menurut keterangan resmi yang didapat Antara waktu itu Tiene dapat bekerja enak karena ada sokongan anggota dewan kotapraja yang mendapat toko itu. Para pejuang juga marah mengancam hendak menyerbu toko-toko itu. Pihak militer kemudian bertindak menutup toko-toko itu agar jangan jadi keributan.
Persoalannya ketika Tiene resmi dilantik Menteri Dalam Negeri, ia kembali membuka toko-toko itu . Bahkan ia mengumumkan dalam surat kabar, tentara tidak berhak mencampuri urusannya. Pihak militer kemudian menahan Tienne. Penangkapannya dialkukan ketika ia hendak terbang ke Jakarta. Ia kemudian menjadi tahanan rumah. Dia dianggap melawan pemerintahan militer –yang masa itu berlaku di daerah tersebut. Dia kemudian ditahan di Makassar. Pada 29 Maret 1951 ia digantikan H.R. Ticoalu dan dewan Kotapraja yang lama dibubarkan.
Tiene bersikeras bahwa pembukaan toko itu itu dilakukan setelah berkonsultasi dengan Mayor Subroto, seorang perwira militer di sana. Penutupan toko itu tanpa surat-surat. Dia juga menyebut bahwa Dewan Darurat Kotapraja yang dibentuk pada 7 April 1951 tidak sah karena disokong oleh semua masyarakat. Partai PNI, PIR, Partai Katolik dan Gaswani (gabungan 16 organisasi wanita) tidak bergabung di dalamnya (Pikiran Rakjat, 12 April 1951)
Tak banyak catatan yang saya temukan tentang keberhasilan Tiene. Namun apabila di daerah-daerah Jawa, pelacuran merupakan salah stau masalah sosial yang besar, walikota ini justru berhasil menekannya. Yang menarik sekalipun pergaulan antara laki-laki dan perempuan di Manado lebih bebas-karena pengaruh pendidikan Barat- namun dalam rumah tangga para orangtua benar-benar menjaga putri-putrinya hingga dewasa dan menikah.
Sebagai akibat demoralisasi akibat perang, pelacuran juga sempat merebak. Namun Tiene tidak membiarkan para pelacur itu berkeliaran di jalan, melainkan dilokalisasi tidak lebih dari lima tempat. Jumlahnya hanya 40 hingga 50 orang. Karena jumlah perempuan lebih banyak wanita, yang janda atau tidak bersuami menjadi istri pendatang atau tentara (Pikiran Rakjat, 10 April1951).
Sayangnya kebijakannya kerap tidak populer terutama untuk kaum buruh. Dia antara lain memecat 4 orang buruh yang terlibat dalam pemogokan buruh kotapraja (tergabung dalam Serikat Kerja Haminte Manado). Mereka yang dpceat adalah tenaga progesif dan penentang Ketatanegaran Kota Manado (KKM) dan ikut serta dalam KMB. Mereka digantikan pengikut aktif dalam KKM itu.
Saya masih melacak cerita tentang Tine sesudah 1951 hingga meninggalnya pada 1986 ini.
Tampilnya wanita dalam politik tampaknya memang tidak terlalu berbenturan dengan kebudayaan Minahasa. Menurut Bert Supit dalam bukunya Minahasa: Dari Amanat Watu Pinawetenagan Sampai Gelora Minawatua, Jakarta : Sinar Agape Pers, 1986 disebutkan bahwa ada legenda Minahasa bahwa asal usul mereka berasal Toar (ayah) dan Lumimuut (ibu). Toar hakekatnya adalah putra dari Lumimuut dari perkawinannya dengan ular sawah. Luumimuut sendiri muncul dari batu karang. Hasil perkawinan antara Toar dan Lumimuut menurunkan 21 keluarga yang dipercaya menurunkan orang Minahasa.
Peranan wanita dalam politik secara formal di Minahasa dipelopori oleh Walanda Maramis. Dalam sejarah nasional, Walanda Maramis termasuk tokoh pergerekan pendiri PIKAT yang ditujukan pada peningkatan kesejaterahan ibu dan anak. Tetapi sebetulnya langkah Maramis lebih mau lagi. Ia tidak hanya memperjuangkan pendidikan kaum wanita, tetapi juga hak wanita untuk untuk terjun ke politik (pada masanya setahu saya hanya ia dan Rasuna Said dari Sumatera Barat yang riil punya pandangan politik emansipasi).
Pada 1919, sebuah badan perwakilan dibentuk di Minahasa dengan nama Minahasa Raad. Mulanya anggota-anggotanya ditentukan, tapi pemilihan oleh rakyat direncanakan untuk memilih wakil-wakil rakyat selanjutnya. Hanya laki-laki yang bisa menjadi anggota pada waktu itu, tapi Maramis berusaha supaya wanita juga memilih wakil-wakil yang akan duduk di dalam badan perwakilan tersebut. Usahanya berhasil pada 1921 dimana keputusan datang dari Batavia yang memperbolehkan wanita untuk memberi suara dalam pemilihan anggota-anggota Minahasa Raad.
Irvan SjafariNB: Kalau ada kritikan dan masukan terima kasih.