Beranda » RI Pasopati: An Untold True Story In More Than 12 Hours Underwater

RI Pasopati: An Untold True Story In More Than 12 Hours Underwater

Jika berkesempatan berkunjung ke Surabaya, tepatnya di daerah Gubeng, persis di samping Surabaya Plaza dan tepi Kalimas akan melihat monumen kapal selam peninggalan di masa Soekarno. Pada tubuh kapal selam tersebut tersemat nama PASOPATI atau kapal selam tadi dulunya bernama RI Pasopati. Mengapa nama RI Pasopati yang dipilih, bukan nama lainnya? Ternyata ada kisah dibaliknya yang membuatnya dipilih untuk menjadi monumen. Satu kisah heroik yang cukup menegangkan, sehingga menjadi pembicaraan di kalangan para pelaut di lingkungan TNI-AL di masa itu.


RI Pasopati adalah kapal selam buatan Sovyet (Rusia) kelas Whiskey yang paling moderen pernah didatangkan oleh Indonesia. Kehadiran kapal selam tersebut sebagai bagian untuk mendukung kampanye TRIKORA. RI Pasopati sendiri tiba dalam gelombang ketiga bersama 5 kapal selam sejenis pada bulan Desember 1962, yaitu RI Widjajadanu, RI Hendradjala, RI Bramasta, RI Tjundamani, dan RI Alugro. Sebanyak 6 kapal selam tersebut telah dipersenjai dengan torpedo jenis SEAT-50, yaitu jenis torpedo yang berteknologi ‘fire & forget’. Inilah jenis kapal selam yang paling ditakuti oleh pihak barat dan sekutunya, karena baru Sovyet yang bisa merancang torpedo berteknologi ‘fire & forget’. Dengan kedatangan gelombang tersebut, maka total Indonesia ketika itu memiliki 12 unit kapal selam kelas Whiskey.


Sekilas mengenai gambaran kapal selam di masa lalu sangat berbeda sekali dengan kapal selam di masa sekarang ini. Kelas Whiskey termasuk berukuran kecil dan memiliki keunggulan karena ukurannya tersebut, serta cocok bermanuver di perairan Nusantara. Kapal selam di masa itu menggunakan tenaga battery untuk menggerakkan baling-baling dan mensuplai sebagian listrik di dalam kapal. Ruang yang sempit, penerangan seadanya, dan keterbatasan udara adalah situasi yang harus dibiasakan dan dilatih oleh para awak kapalnya. Mereka tidak bisa bebas mondar-mandir, karena akan mengganggu stabilitas kapal ketika berada di bawah permukaan air. Tidak ada kamar mandi ataupun WC. Untuk buang hajat harus ditampung di dalam kaleng atau tempat penampungan lainnya. Ketika muncul ke permukaan air, mereka akan mengisi battery sambil membuang kotoran. Para awak kapal pun harus membiasakan diri jika tercium bau pesing, karena tidak mungkin di masa perang mereka sembarangan muncul ke permukaan. Jangan ditanya soal kenyamanan, karena hangatnya perairan tropis di Nusantara akan membuat tubuh kapal menjadi semakin hangat, sehingga bisa dibayangkan betapa suhu di dalam kapal selam bisa mencapai di atas 45 derajat Celcius. Melihat kondisi awak kapal selam tersebut, Soekarno sempat memberikan semangat moral, “Sekali menyelam, maju terus tiada jalan untuk timbul sebelum menang. Tabah sampai akhir” (Cuplikan pidato Soekarno di atas kapal selam RI Tjandrasa tanggal 6 Oktober 1966 di dermaga ujung, Surabaya).


Drama Menegangkan RI Pasopati

Kisah ini disadur dari pengakuan salah satu keluarga mantan awak kapal RI Pasopati. Penulis bertemu di tahun 2005 di Yogyakarta. Ketertarikan penulis untuk menggali cerita berawal dari ditemukannya foto-foto RI Pasopati yang dijadikan latar belakang (wallpaper) pada laptop seseorang yang ternyata putera dari salah satu awak RI Pasopati. Ternyata yang bersangkutan mengaku apabila ayahandanya berulangkali menceritakan adegan yang menegangkan di bawah air tersebut. Hasil paparan dari narasumber tersebut kemudian penulis uji dengan mencocokkan kesaksian dari pihak lain. Berdasarkan penuturan para saksi, kejadian tersebut berlangsung di tahun 1963 atau belum lama setelah RI Pasopati berada di perairan NKRI. Lokasi kejadian berada di perairan sekitar Biak, cukup dekat dengan Papua yang ketika itu masih dikuasai oleh Belanda. Adapun komandan kapal selam pada peristiwa tersebut adalah Kapten Laut (Pelaut) Widodo Danujo.



Suatu ketika, saat sedang menjalankan misi patroli dan pengintaian di perairan sekitar Papua, RI Pasopati kepergok oleh segerombolan fregat Belanda. Nahas sekali, posisi RI Pasopati cukup jauh dari wilayah perairan aman untuk meminta bantuan. Seperti kisah pengejaran U-boat di perang dunia kedua. Bukan hanya fregat yang memburu, tetapi menyertakan pula pesawat anti kapal selam. Satu-satunya tindakan bijaksana adalah lari, karena RI Pasopati membawa informasi intelijen yang penting di sekitar perairan tersebut. Jika tenggelam, maka Indonesia tidak akan banyak mengetahui adanya kekuatan besar di sekitar perairan yang mengelilingi Papua. Tentu saja untuk lari keluar dari pengejaran itu pun tidaklah mudah, karena fregat-fregat tersebut memiliki kecepatan tinggi dan telah dipersenjatai oleh amunisi anti kapal selam.





Di tengah kekalutan, ketakutan, dan keputusasaan haruslah ada satu keputusan yang cepat, yaitu bagaimana menghindar dari deteksi anti kapal selam. Sekedar informasi, teknologi pendeteksi kapal selam di masa itu menggunakan teknologi sonar. Mereka pun diperlengkapi pula semacam alat dengar atau telinga elektronik untuk mendeteksi suara pergerakan baling-baling atau riak yang disebabkan oleh manuver kapal selam di bawah permukaan air. Secara teoritis, seluruh alat deteksi tersebut menghasilkan deteksi nihil apabila kapal selam yang diburu berada pada status karam. Artinya, untuk mengecoh alat deteksi dan pengejaran haruslah membuat agar RI Pasopati seolah-olah karam. Kemudian, posisi karam haruslah dipilih di antara bebatuan dan karang di dasar lautan. Jika dikaramkan di atas pasir laut akan semakin membuat deteksi sonar semakin kuat. Tetapi jika dikaramkan di antara bebatuan dan karang akan menyebabkan sinyal deteksi sonar mendeteksinya sebagai karang atau bebatuan. Tidak ada pilihan lain untuk selamat, karena dengan perkiraan kekuatan pemburu, mereka dipastikan telah menunggu pula di pintu masuk ke zona aman.


Setelah menemukan kawasan yang dideteksi merupakan karang dan bebatuan, RI Pasopati pun ditidurkan di atasnya. Seluruh mesin dan alat elektronik dimatikan untuk menghindari pendeteksian. Mereka tidak lagi punya kesempatan untuk menghindar apabila terdeteksi. Mereka hanya punya kesempatan yang bagus di mana ketika mengkaramkan di atas karang, posisi RI Pasopati sedang tidak berada di tengah kepungan kapal fregat. Langkah berikutnya hanyalan berdoa sambil menunggu pengejaran berakhir dan perairan di atasnya dianggap aman.



Ironisnya, RI Pasopati dikaramkan justru tidak begitu jauh jaraknya dengan permukaan air, yaitu sekitar kurang dari 20 meter. Memang tidak ada pilihan lain, karena di situlah lokasi yang dianggap paling aman dan paling dekat. Cukup menegangkan menurut pengakuan dari salah satu mantan awaknya. Berulangkali suara deburan air terdengar jelas dalam ruang kapal selam. Tidak jarang di antara fregat justru berhenti tepat di atas RI Pasopati. Lebih menegangkan lagi, tepat di atas RI Pasopati mengkaramkan diri tadi telah menunggu pula kapal induk Karel Doorman. Nampaknya para pemburu tadi sudah mendeteksi perkiraan lokasi terakhir, kemudian dilakukan tahap penyisiran lokasi. Suara ledakan bom anti kapal selam pun terdengar, tetapi tidak mengenai RI Pasopati.



Suasana di dalam RI Pasopati pun sangat sunyi dan mencekam. Seluruh perangkat elektronik dan penerangan dipadamkan untuk menghindari deteksi. Gelap gulita dan tanpa ada suara sedikit pun, termasuk suara percakapan. Tidak ada pula yang diperbolehkan bergerak atau membuat kegaduhan kecil, karena akan semakin memperkuat sinyal deteksi suara (telinga elektronik) di bawah air. Suara kentut atau bersin pun jika memungkinkan harus ditahan. Ini semua merupakan bagian dari seluruh pelatihan mental awak kapal selam di Vladivostok. Persediaan oksigen pun terus menipis, karena kapal selam pada masa itu hanya menggunakan oksigen yang hanya bisa mensuplai untuk beberapa jam. Selama lebih dari 6 jam lamanya, seluruh awak kapal hanya bisa berdiam kaku sambil berdoa.


Keluar Dari Neraka Bawah Air


Tidak ada yang bisa memastikan apabila perairan di atas mereka dianggap telah aman. Perangkat sonar di dalam kapal selam telah dinonaktifkan. Praktis untuk mendeteksi hanyalah dengan mendengar suara-suara yang bisa menembus ke dinding kapal selam. Ketika sudah tidak lagi terdengar suara riak kapal dan dengung mesin pesawat terbang, barulah bisa diduga mungkin di atasnya telah dianggap aman. Tetapi hanya komandan kapal yang boleh menebak dan mengambil keputusan untuk bergerak dan menggerakkan seluruh awak kapal. Ketika kesunyian mulai terasa di atas permukaan air, tidak ada di antara para awak kapal yang diperbolehkan untuk mengambil tindakan. Hanya satu orang yang diperbolehkan mengambil tindakan di mana seluruh awak kapal selam menunggu aba-aba dari komandan kapal selam.



Setelah dirasakan perairan di atasnya cukup aman, mereka belumlah bisa dikatakan sudah dalam kondisi lolos dari pengejaran. Langkah berikutnya tidak kalah menegangkan, yaitu menjalankan prosedur untuk menghidupkan sonar. Taruhannya cukup besar, karena jika suara sonar tadi terdeteksi, maka mereka tidak punya lagi peluang untuk meloloskan diri. Perangkat sonar di masa itu tidak seperti sekarang yang bisa dengan cepat diaktifkan dan dinonaktifkan kembali. Jika sudah diaktifkan, maka butuh sekitar 5 detik lebih untuk bisa menonaktifkan. Suara sonar tadi dimaksudkan untuk memancing kemungkinan apabila rombongan pemburu kapal selam kembali ke tempat semula. Setelah dinyatakan tidak ada respon, kemudian mereka secara perlahan naik ke permukaan hingga batas periskop dan snorkel untuk mengamati perairan di sekitarnya. Permasalahannya, mereka para awak kapal tidak tahu persis lokasi mereka sendiri, kecuali hanya bisa menebak dari pergerakan yang sudah mereka lakukan sebelumnya.


Dengan muncul pada batas periskop dan snorkel akan memberikan kesempatan bagi mesin diesel untuk mengisi ulang battery maupun oksigen. Di sini perwira navigasi melakukan koreksi dan perhitungan ulang untuk menentukan posisi terakhir RI Pasopati. Waktu adalah segalanya, karena untuk koreksi posisi harus dilakukan dengan akurasi tinggi dan dalam hitungan detik. Masih ada waktu beberapa saat untuk merenggangkan tubuh, tetapi mereka para awak diharuskan untuk tetap berada di posisinya masing-masing. Mereka harus secepatnya beranjak dan keluar dari posisi terakhir menuju perkiraan batas aman di perairan NKRI. Komunikasi radio masih belum bisa diaktifkan terlebih dulu untuk menghindari deteksi sinyal radio oleh pihak pemburu kapal selam.



Dari pangkalan TNI-AL di Surabaya sendiri sebenarnya masih berspekulasi dengan kondisi terakhir RI Pasopati yang hilang kontak. Bisa jadi RI Pasopati telah ditenggelamkan atau bisa jadi pula telah ditawan. Tetapi mereka pun membuka kemungkinan apabila RI Pasopati mungkin tengah bersembunyi dan mencoba untuk meloloskan diri. Segala kemungkinan harus dibuka agar bisa mengambil tindakan yang tidak membahayakan. Misalnya saja, mereka tidak mengerahkan armada kapal perang untuk menyembunyikan kecurigaan lawan apabila RI Pasopati masih bersembunyi. Tidak semua personil TNI-AL yang cemas akan kondisi terakhir RI Pasopati, karena situasi tersebut haruslah dianggap sebagai situasi rahasia, sampai dipastikan kondisi terkini. Cukup beralasan jika RI Pasopati dijadikan sasaran perburuan, karena kapal selam tersebut memiliki teknologi yang belum banyak diketahui oleh pihak barat dan sekutunya.


Menjelang dini hari, RI Pasopati terus bergerak perlahan meninggalkan zona pengejaran dan mendekati zona aman untuk meminta bantuan. Permasalahan lainnya, di masa perang biasanya sulit untuk mengidentifikasikan musuh atau kawan sendiri. RI Pasopati beroperasi secara rahasia, tanpa memiliki koordinasi kode panggilan. Tidak semua kapal perang milik Indonesia yang memiliki kode panggilan khusus kapal selam. Itu sebabnya, pihak pimpinan armada di Surabaya mengirimkan kapal perang khusus yang sengaja digunakan untuk operasi penyelamatan sunyi. Di sini mereka membuka sinyal radio dan mengirimkan kode darurat dengan harapan bisa ditangkap oleh RI Pasopati. Akhirnya RI Pasopati pun menangkap sinyal tersebut, kemudian mengirimkan sinyal balik untuk dilakukan penjemputan dan penyelamatan.





Kisah perburuan RI Pasopati sempat membuat decak kagum bagi orang-orang Sovyet, terutama pihak yang membangun kapal selam tersebut. Mereka sendiri belum pernah mengalami situasi ketegangan yang dialami oleh awak RI Pasopati. Dikabarkan Sovyet sendiri menggunakan teknik serupa dalam era perang dingin di tahun 1970an. Peristiwa RI Pasopati sebenarnya merupakan bukti jika bangsa Indonesia adalah bangsa pelaut yang tidak bisa dibantah lagi. Untuk mengenang peristiwa tersebut, RI Pasopati dijadikan monumen di Surabaya untuk menjadi saksi bisu keberanian para pelaut TNI-AL di masa lalu. Jalesveva Jaya Mahe.


Leo Kusuma