Mungkin tidak banyak orang tahu bahwa di Jawa Barat, khususnya di wilayah Bogor, terdapat jejak-jejak sebuah kerajaan bercorak Hindu tertua di Pulau Jawa. Mungkin saja asumsi saya ini tidak benar, tetapi coba saja hal ini ditanyakan kepada para siswa SMA atau warga Bogor lainnya, Anda akan dapat menemukan jawabannya.
Pintu gerbang menuju Situs Ciaruteun
Sebagai sebuah upaya memperkenalkan jejak-jejak budaya dan sejarah, pada Ahad, 10 Juni 2012, Komunitas Napaktilas Peninggalan Budaya melakukan kunjungan ke beberapa situs peninggalan Kerajaan Tarumanagara yang berada di Desa Ciaruteun Hilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, kurang lebih 19 km sebelah barat daya Kota Bogor. Di antara peserta yang berjumlah kurang lebih empat puluh orang ini ada juga yang datang jauh-jauh dari Jakarta dan Bandung. Yang menjadi narasumber kali ini tidak kepalang tanggung, yaitu Prof. Dr. Hasan Djafar, guru besar arkeologi Universitas Indonesia.
Prof. Hasan Djafar
Lokasi situs ini dapat ditempuh dari dua arah, dengan menggunakan kendaraan umum atau kendaraan pribadi. Rute pertama dapat ditempuh dari Kota Bogor menuju Terminal Bubulak lalu menuju Dramaga hingga tiba di pertigaan Ciampea lalu berbelok ke kanan. Sebelum Pasar Ciampea, berbelok ke kiri mengikuti petunjuk arah menuju Situs Ciaruteun. Rute yang kedua dapat ditempuh dengan berpatokan pada monumen helikopter di pertigaan Semplak-Bantarkambing melalui Jalan Atang Sanjaya. Rute ini tidak terlalu macet. Sesampainya di pertigaan cagak, belok kiri melalui Jalan Letnan Sukarna hingga melewati jembatan Sungai Cisadane. Sebelum Pasar Ciampea, berbelok ke kanan hingga menemui pertigaan dengan papan penunjuk arah menuju situs. Di situ, berbelok ke kanan hingga sampai di situs yang pertama, yaitu Situs Kebon Kopi I. Di sinilah kami berkumpul sebagai titik awal napak tilas kali ini.
Prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara yang masih bisa ditemui ada tujuh buah: (1) Prasasti Kebon Kopi I, (2) Prasasti Ciaruteun, (3) Prasasti Jambu, (4) Prasasti Muara Cianten, (5) Prasasti Pasir Awi, (6) Prasasti Cidanghiyang, dan (7) Prasasti Tugu. Sebenarnya masih ada satu lagi prasasti, yaitu Prasasti Kebon Kopi II. Sayangnya, prasasti ini sejak ditemukan tidak diketahui lagi keberadaannya hingga kini. Prasasti Kebonkopi II ditemukan pada tahun 1918. Menurut F.D.K. Bosch, yang sempat mempelajarinya, prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu dalam empat baris tulisan beraksara Pallawa Akhir atau Pasca-Palawa dan berbahasa Malayu Kuno. Isinya berkenaan dengan pemulihan kekuasaan Raja Sunda. Ia menanggalkan peristiwa ini pada tahun 932 Masehi. Bosch melihat penggunaan bahasa Melayu sebagai tanda pengaruh Sriwijaya di kawasan Jawa Barat. Sejarahwan Prancis Claude Guillot memperkirakan Prasasti Kebonkopi II ini mengacu ke pendirian Kerajaan Sunda. Meski telah hilang, Dinas Purbakala Belanda sempat mendokumentasikan prasasti ini berupa foto sehingga menjadi bukti satu-satunya bahwa prasasti ini pernah ada.
Prasasti Kebon Kopi II
Berikut ini isi dari Prasasti Kebon Kopi II.
Ini sabda kalanda rakryan juru panga
mbat i kawihaji panca pasagi maesa
ndeca barpulihkan haji sunda
terjemahan:
Ini batu peringatan yang dimaksudkan untuk
memperingati perintah Rakryan, Juru
Pangambat pada tahun Saka 854 untuk
mengembalikan kekuasaan kepada raja Sunda.
Di antara ketujuh prasasti tersebut, lima buah terdapat di Bogor, yaitu Prasasti Kebon Kopi I, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Jambu, Prasasti Pasir Awi, dan Prasasti Muara Cianten. Prasasti Kebon Kopi I, Prasasti Ciaruteun, dan Prasasti Muara Cianten terletak dalam satu wilayah, yaitu di Desa Ciaruteun Hilir, sedangkan Prasasti Pasir Awi terletak di Leuwiliang dan Prasasti Jambu atau Prasasti Pasir Koleangkak berada di Bukit Koleangkak, Perkebunan Jambu, sekitar 30 km sebelah barat Kota Bogor.
Dua prasasti yang terletak di luar Bogor adalah Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Lebak yang ditemukan di Kampung Lebak di tepi Sungai Cidanghiyang, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten dan Prasasti Tugu yang ditemukan di daerah Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.
Situs pertama yang kami kunjungi adalah Prasasti Kebon Kopi I (S006.52774 E106.69037), yang terletak di pinggir jalan desa, di samping sebuah sekolah dasar. Prasasti ini berada di bawah cungkup. Dinamakan prasasti Kebon Kopi karena prasasti ini ditemukan di kebun kopi milik seorang tuan tanah berkebangsaan Belanda bernama Jonathan Rig. Prasasti ini dibuat sekitar tahun 400 Masehi. Prasasti ini dikenal pula dengan nama Prasasti Tapak Gajah karena di atas prasasti itu terdapat cetakan sepasang kaki gajah. Cetakan telapak kaki gajah itu mengapit sebuah kalimat dalam huruf Pallawa berbahasa Sanskerta, berpola metrum Anustubh (bait sloka dengan delapan suku kata). Berikut kalimat tersebut.
Prasasti Kebon Kopi I (Tapak Gajah)
Tulisan di Situs Kebon Kopi I
jayavis halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam
artinya:
kedua jejak telapak kaki ini adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata milik penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.
Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra, dewa perang dan penguasa kilat. Menurut Pustaka Parawatwan I Bhumi Jawadwipa, parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Diberitakan juga bahwa bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah.
Beberapa ahli yang telah meneliti prasasti ini, di antaranya: Brumun (1868), Veth (1878, 1896), H. Kern (1884, 1885, 1910), dan Verbeek (1891). Yang mampu membaca tulisan dalam prasasti ini dan diterima oleh semua kalangan adalah Vogel (1925).
Situs kedua yang kami kunjungi adalah Situs Megalitik Kampung Muara (S006.52661 E106.69022). Situs ini terletak kurang lebih seratus meter ke sebelah utara dari Prasasti Kebon Kopi I. Situs ini terdiri atas tiga buah batu menhir (batu tangtung) dan dua buah batu dakon (lumpang) yang berada dalam sebuah cungkup. Di situs ini sama sekali tidak ditemukan tulisan-tulisan.
Keseluruhan batu tersebut merupakan hasil ekskavasi yang dilakukan oleh Puslitarkenas sekitar tahun 80-an. Menurut penduduk setempat yang menyaksikan penggalian tersebut, selain batu-batu tersebut, ditemukan juga arca batu.
Keberadaan menhir dan batu dakon sebagai produk budaya megalitik membuktikan bahwa sebelum datangnya pengaruh Hindu, wilayah Kampung Muara ini adalah sebuah wilayah kabuyutan atau wilayah yang disucikan. Bila dilihat dari tekstur tanahnya, situs ini terletak di sebuah pucak bukit. Ditemukannya situs peninggalan budaya megalitik ini berdampingan dengan situs peninggalan budaya Hindu menandakan bahwa pada saat itu kedua budaya ini hidup dan berdampingan dalam waktu yang bersamaan, dan kedua budaya tersebut menghormati tempat yang sama.
Batu alas tiang.Tidak jauh dari Situs Megalitik Kampung Muara terdapat beberapa batu bekas penyanggah kayu tiang bangunan. Biasanya, tiang rumah panggung selalu dialasi dengan batu-batu yang menghubungkannya ke tanah agar kayu tiang tersebut tidak langsung bersentuhan dengan tanah. Batu ini berwarna putih dan sepertinya terbuat dari batu pualam atau marmer setengah jadi. Memang, di dekat situs ini ada gunung kapur, yang memungkinkan batu-batu ini diambil dari daerah ini. Di sekitar tanah warga, batu-batu penyangga ini banyak ditemukan dan sebelumnya banyak yang dihancurkan untuk bahan bangunan karena ketidaktahuan warga.
Prasasti Muara Cianten
Situs ketiga yang kami kunjungi adalah Prasasti Pasir Muara atau Prasasti Muara Cianten (S006.52328 E106.69109). Dinamakan demikian karena prasasti ini terletak di tepi Sungai Cisadane dan tidak jauh dari muara Sungai Cianten. Situs ini berada di sebelah utara Situs Megalitik Kampung Muara, kurang lebih 300 meter ke arah bawah, menyusuri jalan aspal, kebun singkong, dan disambung dengan jalan tanah.
Ukuran prasasti ini paling besar dibandingkan dengan ketiga prasasti lainnya dan masih berada di pinggir sungai; bagian bawahnya masih terendam air sungai. Bila air sungai naik, seluruh prasasti ini akan terendam. Rencananya, prasasti ini akan dipindahkan ke bagian tanah yang lebih tinggi. Ukurannya yang cukup besar dan tentunya mempunyai bobot yang lebih berat ini yang menjadi alasan prasasti ini belum dipindahkan ke lokasi yang lebih memadai. Di atas prasasti ini tidak ditemukan tulisan selain sulur-sulur. Sayang sekali, hingga saat ini belum ada seorang ahli pun yang dapat menafsirkan makna dari bentuk sulur-sulur tersebut. Meski demikian, para ahli sependapat bahwa prasasti ini adalah peninggalan era Tarumanagara karena adanya kemiripan dengan bentuk sulur-sulur pada Prasasti Ciaruteun.
Situs keempat yang kami kunjungi adalah Punden Pandu Dewanata.
Punden ini terletak di belakang rumah penduduk, tidak jauh dari Prasasti Pasir Muara. Di atas sebidang tanah berukuran 3 m x 3 m terdapat beberapa batu menhir berbagai ukuran dan dua arca batu sederhana tipe polinesia.
Dilihat dari bentuk keberadaannya, situs ini dahulunya difungsikan sebagai tempat pemujaan (punden). Adanya arca tipe polinesia membuktikan bahwa punden ini digunakan setidaknya sampai masa Kerajaan Sunda pada abad ke-15—16.
Oleh masyarakat setempat, punden ini dikenal sebagai “Patilasan Pandu Dewanata”. Penamaan tempat yang dikaitkan dengan tokoh wayang dari khazanah Hindu merupakan sesuatu yang wajar terjadi dalam masyarakat kita. Hal ini manjadi penanda bahwa tempat tersebut berkaitan dengan keagamaan pra-Islam.
Situs kelima yang kami kunjungi adalah Prasasti Ciaruteun. Letaknya di seberang Prasasti Kebon Kopi I agak ke dalam melewati jalan setapak, pada titik koordinat 0 7’2,76” BB dan 6 38’09”. Prasasti berupa batu besar seberat delapan ton itu tampak kokoh sekali bernaung di bawah cungkup. Sepasang pandatala (tapak kaki) tampak tercetak jelas pada bagian atasnya. Konon, tapak kaki tersebut adalah bekas tapak kaki Maharaja Purnawarman yang memimpin dan menguasai Kerajaan Tarumanegara.
Pada awalnya (in situ), prasasti tersebut terletak di tepi Sungai Ciaruteun yang terletak kurang lebih seratus meter di bawah lokasi batu prasasti tersebut berada saat ini. Pada 2 Juni 1981, batu itu diangkat dan diletakkan di bawah cungkup seperti yang terlihat sekarang. Karena lokasi awal batu tersebut di tepi Sungai Ciaruteun, batu tersebut dikenal dengan nama Prasasti Ciaruten.
Di atas Prasasti Ciaruteun terdapat tulisan berbentuk sloka empat baris, ditulis dalam huruf Pallawa dan berbahasa Sangskerta, berpola metrum Anustubh atau syair dengan delapan suku kata. Di bawah tulisan itu terdapat gambar sulur-sulur dan ukiran seperti binatang laba-laba.
Menurut Vogel (1925), tulisan dalam prasasti ini adalah:
Vikkrantasyavanipat eh
shrimatah purnnavarmmanah
tarumanagararendrasya
vishnoriva padadvayam
artinya:
kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini milik raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara, raja yang gagah berani di dunia
Tulisan dalam Prasasti Kebon Kopi I dan Prasati Ciaruten menjadi acuan bagi penelitian huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta karena pahatan huruf dalam kedua prasasti tersebut tercetak jelas dan tidak ada bagian yang hilang, tidak seperti prasasti-prasasti lainnya.
Dengan adanya prasasti-prasasti ini, bukti bahwa Kerajaan Tarumanegara pernah ada di muka bumi ini dan wilayah Bogor menjadi bagian dari kekuasaannya, tidak lagi menjadi perdebatan.
Kedua Prasasti tersebut dilindungi dan memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi sehingga membutuhkan perlindungan dan perawatan yang sangat baik. Prasasti itu merupakan bukti sekaligus sumber sejarah yang tidak akan habis digali. Prasasti itu sangat penting karena menjadi rangkaian sejarah Indonesia setelah awal Masehi. Jika prasasti itu hilang atau rusak, sejarah Indonesia tidak akan pernah utuh dan anak bangsa ini seperti anak-anak bangsa yang kehilangan sejarahnya dan berdiri di atas fundamen dan identitas sejarah yang tidak lengkap.
Secara keseluruhan, Prasasati Ciaruteun merupakan objek wisata sejarah yang cukup menarik untuk dikunjungi. Sementara ini, yang baling banyak berkunjung ke Prasasti Ciaruteun adalah siswa-siswa dari sekolah-sekolah di sekitar Bogor dan peneliti serta turis dari mancanegara, khususnya Jepang, Korea, dan Taiwan.