Belum lama ini mas Agus menulis buku Wali Songo, Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan. Apa tujuan menulis buku itu?
Awalnya ketika saya membaca buku Ensiklopedi Islam terbitan Van Hoeve itu. Ternyata entri Walisongo tidak ada. Demak itu hanya disinggung dua. Kesultanan Demak dan masjid Demak. Itu pun singkat sekali. Yang muncul malah tiga serangkai Wahabi yang membawa faham Wahabi ke Indonesia. Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piabang sebagai pembawa ajaran Islam.
Reputasi orang itu dalam sejarah perjuangan menyebarkan Islam itu bagaimana?
Yang menimbulkan pecahnya Perang Paderi. Reputasi apa? Orang yang berbeda pandangan dipateni (dibunuh, red).
Kalau kita baca Ensiklopedi Islam itu, secara tidak langsung, kita diarahkan untuk menganggap bahwa Islam yang disebarkan Nusantara itu oleh Wahabi. Begitu, ya?
Iya. Dan itu yang dimasukkan. Itu kan golongan Sumatera Tawalib. Orang sana itu, madrasah-madrasah Wahabi itu, Persis itu masuk, al-Irsyad itu masuk. Resulusi Jihad itu nggak ada. Komite Hijaznya NU itu nggak ada.
Efeknya bagi masyarakat itu apa, Pak?
Ya lambat-laun Walisongo dianggap nggak pernah ada. Islam yang ada sekarang itu dianggap ahistori.
Indikasi apa itu mas?
Kita tinggal menunggu dua puluh tahun lagi. Kalau Walisongo itu sudah tidak ditulis di ensiklopedi, dua puluh tahun lagi, sudah jelas dianggap dongeng. Tidak ada kenyataannya. Tidak diakui. Eksistensinya tidak diakui.
Itu memang sistematis?
Iya sistematis. Ada usaha sistematis untuk menghilangkkan Walisongo.
Tujuan mereka itu apa?
Ya, mereka kan menganggap Walisongo itu tidak sefaham dengan mereka dan mereka membikin seolah-olah yang membawa (Islam) ke sini adalah Wahabi. Tapi itu artinya Islam baru berkembang 1803. Sebelum itu, nggak ada Islam berarti. Itu pemalsuan sejarah. Pemalsuan sejarah yang tidak cerdas!
Apa karena tipikal Walisongo yang menyebarkan Islam melalui pendekatan budaya? Dan itu bersebrangan dengan faham mereka?
Iya. Mereka kan kalau perlu, semua yang bersebrangan faham dengan mereka kan dibunuh saja. Bahwa faham merekalah yang benar. Karena mereka menghalalkan segala cara. Kalau bukan golongan mereka, ya disingkirkan. Sayangnya mereka minoritas.
Dalam sejarah, Islam yang diterima di masyarakat itu selalu pendekatan budaya. Tidak cuma Walisongo. Di Sumatera ada tokoh Aria Damar. Dia kan asalnya penganut Shiwa Budha. Dakwah Islam di Palembang dan sekitarnya itu, ketika yang dakwah itu orang yang dari Arab Said Syarif Hidayatullah itu, itu nggak ada orang yang mau menerima.
Said Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati?
Bukan, mertuanya Ario Damar. Nah, ketika Ario Damar yang mengajak kepada orang-orang yang menganut Budha, baru mereka berkenan mengikuti Islam.
Strateginya bagaimana? Seperti Walisongo juga?
Iya.
Pendekatan budaya juga?
Iya. Begini, semua orang nggak mau ketika yang menyebarkan Islam itu Syarif Hidayatullah. Kenapa? Palembang itu pusatnya Sriwijaya beratus-ratus tahun. Di situ Budha. Bagaimana caranya bisa Islam? Baru bisa setelah Ario Damar yang menganut Shwa Budha itu memeluk Islam dan mengajak orang. Tetap dengan pendekatan kultural. Apa dengan mengajarkan ilmu, pertanian, kesenia. Banyak. Ario Damar itu kan raja muda di sana. Mesti lewat budaya, macam-macam.
Di daerah lain juga mesti yang diterima itu dengan pendekatan budaya? Sulawesi, Kalimantan juga?
Iya. Contohnya di Jawa. Sunan Ampel itu datang dari Campa, Vietnam. Dia nggak begitu paham budaya Jawa. Menikah dengan orang Jawa, melahirkan anak: Sunan Bonang, misalnya. Dia dididik sebagai keluarga bangsawan Jawa. Dari keluarga ibunya kan. Karena itu dia bisa menulis tembang macam-macam. Sunan Ampel nggak bisa. Nggak ada warisannya karena memang bukan orang Jawa.Jadi, orang pribumi yang berkreasi?Iya. Orang pribumi.Mas, Kelebihan buku ini, menurut mas Agus sendiri dibanding dengan buku-buku lain yang menulis Walisongo.Buku-buku Walisongo itu kan ditulis dalam bentuk dongeng, cerita-cerita, legenda. Nah, saya masukkan inskripsi-inskripsi yang ada di makam-makam, misalnya makam Malik Ibrahim, ada. Atau prasatinya. Kapan tokoh itu, siapa tokoh itu? Bukan berdasarkan dongeng.Setiap makam itu ada inskripsinya ya?Nggak. Nggak setiap makam ada. Tapi beberapa makam ada inskripsinya.Itu kan ensiklopedi yang terbit tahun 1995, kenapa baru direspon sekarang?Karena ngak tahu. Belum pernah baca itu. Baru tahun tahun 2010.Bagaiamana ketemunya Van Hoeve sama Wahabi? Persinggungannya itu?Mungkin aja Van Hoeve nggak paham. Karena dia cuma penerbit. Orang-orang yang menulisnya. (Agus Sunyoto menyebutkan para penulisnya)[IslamTimes/sa/Nu Online]Judul buku: Wali Songo; Rekonstruksi Sejarah yang DisingkirkanPenulis: Agus Sunyoto
Penerbit: Trans Pustaka, Jakarta, November 2011, xxii + 276 halamanKehadiran Wali Songo dalam panggung sejarah penyebaran Islam di tanah Jawa tak bisa dipandang sebelah mata. Keberadaannya menyembulkan kesadaran pentingnya dakwah Islam dengan cara moderat, akulturatif, tanpa meninggalkan nilai-nilai yang menjadi pokok ajaran Islam.Wali Songo layak menyandang gelar tokoh sejarah, yang bukan semata sebagai pelengkap sejarah Jawa, melainkan juga aktor (pelaku) sejarah yang aktif dan bergumul dengan masyarakat. Selama ini, sejarah selalu ditulis dari versi penguasa, dengan penokohan raja yang heroik. Penulisan sejarah seperti ini telah menihilkan kekuatan sosial-kebudayaan masyarakat yang sebetulnya punya peran penting.Buku ini berikhtiar membuka selubung sejarah versi kerajaan dengan menampilkan sejarah arus bawah, dengan Wali Songo sebagai lokomotif perubahan. Banyak versi mengenai sejarah Wali Songo yang berkembang di masyarakat. Namun penulis buku ini mengambil posisi sangat hati-hati untuk merekonstruksi sejarah Wali Songo. Dia tidak hanya fokus pada zaman hidup Wali Songo.Di awal buku ini dijelaskan sejarah terbentuknya Nusantara dan agama yang dianut masyarakatnya pada waktu itu. Sebelum berbagai agama dari belahan dunia –Hindu, Buddha, dan Islam– masuk, penduduk Jawa telah menganut agama Kapitayan dengan “nabi” bernama Semar. Agama ini percaya bahwa roh, yang diyakini sebagai manifestasi Sang Hyang Widi atau Tuhan, mendiami suatu benda. Sebagai bentuk penyembahan, mereka menaruh sesaji pada benda-benda yang memiliki nama tu, seperti wa-tu (batu), tuk (mata air), dan persembahannya disebut tu-mpeng atau tu-mbal.Agama Kapitayan inilah yang oleh peneliti Barat disebut animisme-dinamisme. Wali Songo bukanlah generasi awal yang berusaha mengislamkan Jawa. Sebelumnya, upaya itu dilakukan pedagang dan penjelajah muslim. Penemuan makam Fatimah binti Maimun di Gresik menjadi pertanda bahwa pada abad ke-10 sudah ada orang Islam di tanah Jawa. Ini juga didukung dengan penemuan makam beberapa tokoh di tempat-tempat lainnya.Namun saat itu Islam belum bisa diterima secara luas oleh masyarakat. Selain posisi Majapahit sebagai kerajaan Hindu yang ketika itu masih kuat, juga karena para pendatang Islam tersebut tidak memiliki strategi dakwah yang jitu untuk mengislamkan Jawa. Baru ketika Wali Songo datang pada abad ke-15 dan ke-16, Islam diterima masyarakat luas.Keberhasilan ini ditunjang dengan dakwah Wali Songo yang mengedepankan perdamaian dan dialog kebudayaan. Agama Kapitayan dan Hindu-Buddha yang masih kuat dianut masyarakat tidak serta-merta diberangus, melainkan diasimilasi dan diakulturasi dengan nilai-nilai Islam. Tidak ada satu agama pun yang merasa dikalahkan atau dilenyapkan.Harus pula diakui, tidak selamanya Wali Songo membangun dakwah dengan jalan kebudayaan. Setelah Majapahit resmi runtuh, Wali Songo memainkan peran politik, dengan menunjuk Raden Fatah sebagai Raja Demak. Sang raden adalah keturunan Majapahit yang beragama Islam.Dari sini Islam politik lahir, dengan tidak serta-merta meninggalkan dakwah kebudayaan. Politik ala Wali Songo menjadi landasan etis-kondisional, mengingat kehadiran institusi “negara” (kerajaan) menjadi niscaya untuk mengelola masyarakat dan peradabannya. Politik Wali Songo bergerak melampaui batas-batas kepentingan sesaat para elite. Islam dalam corak Kerajaan Demak adalah manifestasi Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam.Anggota Wali Songo memiliki berbagai keahlian sehingga memungkinkan untuk berbagi peran. Ada wali yang ahli strategi politik, kesenian, pertanian, dan sebagainya. Kehidupan kenegaraan menjadi seimbang karena ada ahli yang menjadi penyokong masyarakat.Buku ini menjadi penting bagi kajian sejarah Islam di Indonesia. Bahwa yang dapat diterima masyarakat adalah dakwah kebudayaan dan perdamaian, bukan Islam jalan kekerasan. Islam di Indonesia akan tampak meneduhkan ketika menghormati kebudayaan masyarakat tanpa berhasrat menundukkannya.Junaidi Abdul Munif
Direktur el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim, Semarang