Mona Lohanda (2001: 2) menulis: “The Batavia city population was divided into three main groups as follows: (1) European, including German, Swedish, French, Danish, British, Portuguese and others; (2) Vreemde Oosterlingen or Foreign Asiatics, i. e Chinese, Arabs, Armenians, Indians, Persians and others; (3) Natives, namely Javanese, Balinese, Ambonese, Buginese, Timorese, Malays and many others.” Adapun menurut Sartono Kartodirdjo (1999: 192), sesuai perundangan 1854, 1892, dan 1910, terdapat tiga kewargaan antara lain Nederlanderschap, Nederlandsch onderdaan, dan Vremde Oosterlingen. Nederlanderschap mencakup kewargaan Belanda, Nederlandsch onderdaan mencakup pribumi dengan status sebagai bawahan Belanda, dan Vremde Oosterlingen mencakup bangsa Timur asing.
Lebih lanjut Lohanda menulis bahwa setiap kelompok tersebut pun miliki keragaman masing-masing seperti Eropa kelahiran Hindia Belanda, China atau Arab kelahiran Hindia Belanda. Adapun kelompok bumiputera atau pribumi terdiri dari dua sub-kelompok: orang merdeka dan budak. Menarik pula pernyataan bahwa ketika Vereenigde Oostindsche Compagnie (VOC) atau Kompeni berkuasa, frasa Vreemde Oosterlingen juga mengacu pada kelompok bumiputera dari etnis Ambon, Bali, Bugis, Melayu, Timor, dan etnis lainnya yang vreemde atau ‘asing’ bagi penduduk Batavia; dan oosterlingen merujuk pada letak daerah asal etnis tersebut di Timur Hindia Belanda. Barulah selepas Engelsche Bestuur (1811-1816), istilah Vreemde Oosterlingen hanya mengacu pada etnis Cina, Arab, dan Moor; tepatnya sejak 1818.
Dari Indisch Burgerschap ke Indonesierschap
Perkenalkan beliau bernama Liem Koen Hian. Lahir di Banjarmasin pada 1896. Putus dari Hollandsch-Chineesche School (HCS) pada usia 15 tahun setara dengan tingkat VI dari tujuh tingkat, namun kelak sempat menjajal berkuliah di Rechts Hoge School (RHS) Batavia pada dasawarsa 1930-an. Malah pernah sempat menjadi juru tulis perusahaan minyak Shell, wartawan majalah Tjhoen Tjhioe (1915-1916), Soo Lim Po (1917), pemimpin redaksi Sinar Soematra (1918-1921), wartawan dan pemimpin redaksi Pewarta Soerabaia (1921-1925), Soeara Poebliek (1925-1929), Sin Tit Po/ Sin Jit Po (1929-1932, 1939), Kong Hoa Po (1937-1938), dan pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 25 September 1932. Pada 1926, Liem sudah menyusun rumusan kewarganegaraan ‘Indonesia’ kelak. Amat menarik karena Liem berasal dari kelompok Vreemde Oosterlingen, tepatnya Cina peranakan. Tiga tahun kemudian, Liem menulis lagi di Sin Tit Po:
Tatkala tiga taon doeloe kita oetaraken haloean Indonesier boeat Tionghoa
peranakan, kita telah dapet matjem² bantahan, djoega dan kebanjakan dari orang²
jang sebetoelnja tida berhak boeat toeroet batjaraken itoe hal, dari sebab
mereka terlaloe tida poenja pengetahoean boeat boleh toeroet bitjaraken soal²
itoe. Terlaloe banjak alesan² bodoh dan menoendjoeken tida adanja pengetahoean,
telah dimadjoeken oleh mereka, jang maoenja dianggep sebage pendekar dan pembela
dari bangsa Tionghoa di Indonesia jang lagi maoe di bikin tjilaka.
Empat tahun kemudian, tepatnya pada 14 April 1930, Liem menulis di Sin Tit Po tentang Indonesierschap yang merupakan perbaikan dari Indisch Burgerschap. Menurut Sartono Kartodirdjo (1999: 192-193) Indisch Burgerschap adalah kewargaan (Hindia Belanda) mencakup kelahiran, keturunan, dan keinginan menjadi warga negara. Siapa saja yang mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, mereka itulah yang dapat miliki kewargaan Indonesia. Simak saja pernyataan tulisan Liem pada 25 September 1932: “Seorang peranakan, tidak peduli turunan dari bangsa apa saja, tetapi jika berasa dan berpikir seperti seorang Indonesier asli dan bersedia untuk menjalankan kewajibannya terhadap negeri yang ia cintai ini sebagai tumpah darahnya, maka boleh sekali mengaku sebagai Indonesier.” Dua puluh tahun kemudian, Tjipto Mangoenkoesoemo kembali menegaskan pernyataan Liem: “Indisch Natie (Batja: bangsa Indonesia) jang terdiri dari semoea orang jang menganggap Hindia Belanda sebage tanah-aer mereka dan dengen aktif membantoe membangoen negara ini. Peranakan adalah satoe integral jang tida terpisahken dari Natie itoe…”
Liem Koen Hian—sebut Tjipto Mangoenkoesoemo—adalah seorang “Indonesier tanpa peci”. Liem berdiri tegak merumuskan Indonesia, menolak etnis Cina yang terbuai Nasionalisme Tiongkok dari Sun Yat Sen dan sebagian mereka yang menerima keadaan begitu saja dengan menjadi warga jajahan dari Kerajaan Belanda. Akhir hidupnya begitu tragis. Setelah salah seorang pengurus PTI terlibat Peristiwa Madiun 1948, Liem pada 1951 turut ditangkap dan dipenjarakan. Hanya beberapa bulan, Liem keluar pada 1952, melepaskan kewargaan Indonesia dan mengambil kewargaan Cina, pergi ke Medan untuk membuka apotek, namun kematian justru menjemputnya lewat serang jantung pada 5 November 1952. Padahal Liem pernah duduk sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945 dan salah satu delegasi Perundingan Renville pada 1947.
raistiwar