Beranda » MELURUSKAN PERSEPSI TENTANG SEJARAH NASIONAL INDONESIA

MELURUSKAN PERSEPSI TENTANG SEJARAH NASIONAL INDONESIA

menyelesaikan studi S1 di Universita Mataram pada jurusan Sosial Ekonomi Pertanian pada tahun 2011. sekarang sedang menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB di Program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD).

OPINI | 20 July 2012 | 14:49 Dibaca: 19 Komentar: 0 Nihil

Bagaimana Indonesia bisa terbentuk dengan luas wilayah yang begitu besar dan dengan dihuni oleh ratusan suku bangsa yang berbeda bahasa, budaya dan agama..??

Pertanyaan sederhana itu membuat saya haus akan referensi sejarah keindonesiaan kita. Saya mencoba mencari buku-buku teks sejarah yang bisa menjelaskan tentang itu. Dalam kurikulum sejarah di sekolah-sekolah dan dalam beberapa buku sejarah lainnya saya menemukan jawaban bahwa terbentuknya Indonesia yang kita kenal sekarang berawal dari penjajahan barat atas Nusantara Indonesia. Penguasaan Belanda atas hampir semua suku bangsa di Nusantara Indonesia di masa lalu diyakini melahirkan perasaan senasib sepenanggungan yang kemudian melahirkan kesadaran nasional untuk berjuang meraih kemerdekaan. Dalam Diorama Monumen Nasional Indonesia bahkan menuliskan dengan jelas bahwa Kristen Katolik dan Protestan yang dibawa para imprialis barat menjadi sumber perekat dan pemersatu nasional Indonesia. Dengan kata lain, hadirnya penjajah kerajaan protestan Belanda mendatangkan manfaat besar buat kita yang dalam perjalanannya melahirkan Indonesia modern. Benarkah demikian..??

Satu fakta yang tidak bisa dibantah adalah semua literatur yang menyatakan seperti itu selalu mengambil referensi dari sejarawan Belanda bernama Snouck Hurgronje, DH.Burger, dll. Fakta ini membuat saya ragu akan kebenarannya. Bukankah tulisan-tulisan dari para pemikir penjajah Kerajaan Protestan Belanda itu selalu dilatarbelakangi oleh kepentingan hegemoni ?. Disamping itu, terlalu banyak hal yang rancu dari penjelasan sejarah diatas. Pada masa perang kemerdekaan, tidak semua wilayah NKRI (sekarang) berjuang untuk membebaskan Indonesia dengan batas territorial seperti sekarang. Kesultanan Bima, Aceh, Banjar, Tidore, Goa, dan bahkan Kesultanan Jogjakarta sekalipun berjuang untuk membebaskan wilayah territorial mereka masing-masing, bukan untuk mewujudkan Indonesia seperti yang kita kenal sekarang. Bahkan beberapa kerajaan lokal harus dilobi intensif oleh pemerintah republik setelah proklamasi kemerdekaan dilakukan. Aceh, Jogjakarta dan Bima serta banyak kerajaan lainnya bergabung ke dalam wilayah politik Republik Indonesia pasca kemerdekaan, bukan pada masa pra kemerdekaan. Dengan fakta sejarah ini, dapat dijelaskan bahwa perjuangan kemerdekaan tidak sepenuhnya ditujukan untuk membentuk Indonesia, tapi sekedar untuk memerdekakan dan mempertahankan eksistensi kerajaan lokal. Jogjakarta bahkan mengajukan syarat khusus jika pemerintah republik ingin menjadikannya bagian dari wilayah republik.

Saya meyakini bahwa tujuan dari penulisan sejarah seperti diatas oleh para sejarawan Belanda ditujukan untuk menampilkan sisi positif dari kolonialisme Belanda. Mereka ingin meyakinkan kita bahwa persatuan dan kesatuan Indonesia tidak akan terbentuk jika mereka tidak datang untuk menjajah kita. Sekarang mari kita baca realitas sejarah kita yang sesungguhnya. Ketika Portugis masuk ke wilayah Indonesia pada abad ke 16, wilayah-wilayah di Indonesia saat itu sedang mengalami kebangkitan kesadaran intelektual dan spiritual. Abad ke 15 dicirikan dengan lahirnya kesultanan-kesultanan Islam di beberapa wilayah Indonesia. Dimulai dari terjadinya islamisasi di kalangan istana Kerajaan Pakoean Padjadjaran dibawah pimpinan Praboe Siliwangi. Islamisasi di kerajaan yang terletak di Jawa Barat ini memberikan dampak yang besar pada masa berikutnya. Dari keturunan Praboe Siliwangi, dibentuk wilayah-wilayah kekuasaan Islam lainnya dengan membentuk kesultanan Cirebon, dan selanjutnya kesultanan Demak, Djajakarta dan Banten. Salah satu keturunan dari Praboe Siliwangi ini adalah Sjarif Hidajatullah atau Soenan Goenoeng Djati, salah satu dari Wali Sanga yang berpengaruh.

Sebelum berkembangnya Islam di Jawa bagian barat, Islam sudah terlebih dahulu membentuk kekuasaan politik di Pulau Sumatra. Pada abad ke 9 berdiri kerajaan Samudra Pasai di Aceh yang waktunya bersamaan dengan masa kejayaan Kerajaan Sriwidjaja di Sumatra Bagian Selatan. Selain itu, di Gresik, Jawa Timur pada abad ke 11 juga telah melahirkan kekuasaan Politik Islam Leran Gresik yang waktunya bersamaan dengan masa berkembangnya kerajaan Majapahit di Terowulan. Lahirnya kesultanan-kesultanan Islam setelah islamisasi keradjaan pakoean padjadjaran memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan Islam di Nusantara Indonesia. Satu persatu keradjaan-keradjaan Hindoe Buddha yang tersisa berkonversi menjadi kesultanan Islam atas prakarsa rajanya sendiri (dimulai dengan masuk islamnya raja). Islamisasi ini bahkan terjadi sampai jauh ke daerah timur: kerajaan Goa dan talo di Sulawesi Selatan, Kerajaan Bima dan Sumbawa di NTB, kerjaan Ternate, tidore serta Ambon di Maluku. Juga ke wilayah utara, di Pontianak, Kutai Karta Negara, bahkan hingga Brunei Darussalam. Lalu ke bagian barat sampai ke wilayah kerajaan Singapoera, Kelantan dan beberapa kerajaan di Pulau Sumatra. Ditengah geliat islamisasi Nusantara inilah para penjajah barat datang dengan misi “deislamisasi” dan penguasaan sumber daya alam. Jangan lupa, imprialisme barat lahir dari “perintah vatikan” pada abad ke-15 sebagai bagian dari strategi perang salib dalam bentuk lain.

Mari kita mencoba menganalisis perjalanan sejarah jika seandainya imperialisme barat tidak masuk ke Nusantara Indonesia (meskipun sebenarnya berandai-andai itu tidak baik, menyalahi takdir, tapi saya hanya ingin menganalisa perjalanan sejarah). Mengingat massifnya proses islamisasi di Nusantara Indonesia pada abad pertengahan yang dilakukan secara sukarela, tidak dengan paksaan apalagi perang, maka bisa jadi seluruh kerajaan Islam itu akan menghimpun diri ke dalam sebuah satuan politik yang besar dibawah naungan Khilafah Islamiyah yang wilayah kekuasaannya meliputi seluruh Indonesia sekarang, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Bahkan bisa jadi jika satuan politik islam yang besar ini melakukan ekspansi ke wilayah lainnya akan termasuk pula seluruh Asia Tenggara ke dalam wilayah negara islam ini. Dengan demikian, kesimpulan yang menyatakan nasionalisme Indenesia lahir dari perasaan senasib sepenanggungan karena dijajah Belanda adalah salah. Persatuan kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara itu sesungguhnya lahir dari pengaruh Islam. Islam sudah menghimpun hati rakyat Nusantara dan membuatnya merasa menjadi bangsa yang satu. Tapi kemudian penjajahan barat datang untuk memecah belah persatuan itu. Jadi, realitas sejarah yang sesungguhnya adalah “Islam menjadi pemersatu nasional bahkan lintas nasional, sedangkan imprialisme barat dengan misi deislamisasinya menjadi pemecah belah persatuan Nusantara”.

Muhammad Nurjihadi