Beranda » KHAZANAH SASTRA DAN ESTETIIKA NUSANTARA 2

KHAZANAH SASTRA DAN ESTETIIKA NUSANTARA 2

KARYA-KARYA MELAYU ISLAM


Karya-karya penulis Melayu klasik, yang dihasilkan sejak akhir abad ke-16 sampai menjelang akhir abad ke-19, amat berlimpah dan aneka ragam jenis dan coraknya. Sesuai jenisnya karya-karya tersebut dapat dikelompokkan menjadi: (1) Hikayat Nabi Muhammad s.a.w.; (2) Hikayat Nabi-nabi sebelum Rasulullah; (3) Hikayat Para Sahabat Nabi; (4) Hikayat Orang-orang Saleh dan Suci; (5) Hikayat Pahlawan-pahlawan Islam; (6) Karangan bercorak Tasawuf; (7) Karangan bercorak kesejarahan; (8) Sastra Adab; (9) Cerita Berbingkai, termasuk kisah binatang; (10) Syair Rampai; (11) Cerita Jenaka; (12) Pelipur lara dan lain-lain.


Masing-masing jenis dari hikayat ini mempunyai ciri dan fungsi tersendiri, dan sumber penulisannya juga berbeda-beda. Hikayat Nabi Muhammad s.a.w misalnya ditulis berdasarkan sejarah kehidupan Nabi Muhammad dari sumber-sumber paling awal, termasuk kesaksian kerabat dekat dan sahaba-sahabat Nabi yang mengikuti perjuangan beliau menyebarkan agama Islam. Khususnya seperti yang dikumpulkan oleh al-Tabari pada abad ke-8 M dalam kitabnya Sirah Nabi Muhammad.Hikayat Nabi-nabi sebelum Rasulullah misalnya ditulis berdasarkan sumber-sumber al-Qur’an, dilengkapi dengan kisah-kisah yang telah lama dikenal bangsa Arab dan Ibrani melalui Taurat, Zabur dan Injil. Kisah berhubungan dengan asal-usul kerohanian Nabi Muhammad yang diramu berdasarkan konsep kosmologi sufi ialah Hikayat Kejadian Nur Muhamad.

Braginsky (1993) mengelompokkan karya-karya Melayu warisan peradaban Islam menjadi tiga berdasar peringkat wilayah atau lapisan garapannya: Pertama, karya-karya yang menggarap lapis Kesempurnaan dan Estetika Batin; kedua, karya-karya yang menggarap lapis Faedah dan estetika Hikmah; Ketiga, karya-karya yang menggarap lapis Hiburan dan Estetika Zahir. Karya-karya yang menggarap sfera kesempurnaan (kamal), menggambarkan upaya manusia mencapai pengetahuan tertinggi (ma`rifat), jalan kerohanian (suluk), bentuk pengalaman dan keadaan rohani (maqamdan ahwal) yang diperoleh seorang penempuh jalan ruhani (salik) dan lain sebagainya.


Karya-karya yang menggarap sfera kesempurnaan jiwa ini juga menggambarkan cita-cita manusia mencapai pribadi insan kamil meneladani Nabi Muhammad s.a.w., kerinduan seorang `asyik(pencinta) kepada Sang Kekasih (mahbub), yaitu Yang Satu. Dalam karya kategori ini dipaparkan juga jalan pengenalan diri, yang amat penting bagi seorang Muslim untuk mengenal perannya sebagai khalifah Tuhan di atas dunia dan sekaligus hamba-Nya. Termasuk dalam kategori ini ialah syair-syair Tasawuf yang sering dikenal sebagai Syair Tauhid dan Makrifat. Selain ditulis dalam bentuk puisi didaktis dan imaginatif simbolik, juga ada yang ditulis dalam bentuk kisah perumpamaan. Karya-karya Hamzah Fansuri dan murid-muridnya seperti Abdul Jamal, Hasan Fansuri, Syamsudin Pasai, dan juga beberapa karangan Abdul Rauf Singkel dan lain-lain termasuk dalam kategori ini. Kecuali karya tiga penulis ini terdapat karya ahli tasawuf lain yang namanya belum diketahui. Di antaranya Syair Perahu (dalam tiga versi yang berbeda), Ikat-ikatan Bahr al-Nisa’ (Lautan Perempuan), Syair Dagang (yang agaknya ditulis penyair asal Minangkabau), Hikayat Burung Pingai, Syair Alif dan lain-lain.

Karya-karya yang mengungkap sfera faedah. Termasuk Hikayat Nabi dan para sahabatnya, Hikayat Pahlawan Islam, serta karya kesejarahan dan adab. Karya katagori ini bermaksud memperkuat dan menyempurnakan akal manusia, yaitu sarana intelektualnya, dengan membeberkan kisah-kisah yang mengandung hikmah dan pengajaran. Di antara karya termasuk sastra adab yang terkenal ialah Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja) karya Bukhari Jauhari dan Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja) karya Nuruddin Raniri dan Nasih Luqman al-Hakim

(anonim). Karya-karya ini menjadi cermin pengajaran dan tuntunan bagi raja-raja, pegawai pemerintahan dan pemimpin masyarakat dalam menjalankan pemerintahan agar tercapai keadilan dan kesejahteraan sosial, dan dengan demikian agama berkembang. Sedangkan karya bercorak sejarah menggambarkan jatuh bangunnya raja-raja dan dinasti, sebab-sebab kejatuhan dan kebangunannya, peristiwa-peristiwa penting yang mempengaruhi kehidupan masyarakat dan jalannya sejarah.



Karya bercorak sejarah ada yang ditulis dalam bentuk syair dan ada yang ditulis dalam bentuk prosa. Bustan al-Salatin merupakan karya bercorak sejarah dan adab. Karya bercorak sejarah lain yang terkenal ialah Hikayat Aceh (anonim), Sulalat al-Salatin atau Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang dan Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji. Jumlah karya bercorak sejarah sangat banyak. Selain yang telah disebut, karya kesejarahan lain yang masyhur ialah Hikayat Pasai, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Banjar, Misa Melayu, Hikayat Johor, Hikayat Maulana Hasanuddin,Hikayat Patani, Sejarah Raja-raja Riau, Salasilah Melayu dan Bugis Salasilah Kutai, Hikayat Bengkulu dan lain-lain. Di Jawa genre serupa disebut babad seperti Babad Tanah Jawi, Babad Pasundan, Babad Giyanti, Babad Madura, Babad Besuki dan lain-lain. Di Minangkabau karya kesejarahan disebut tambo. Di antara yang masyhur ialah Tambo Minangkabau.



Karya bercorak sejarah yang ditulis dalam bentuk syair di antaranya ialah Syair Perang Mengkasar, Syair Sultan Maulana, Syair Moko-moko, Syair Sultan Zainal Abidin, Syair Perang Siak, Syair Pangeran Syarif Hasyim, Syair Singapura Terbakar, Syair Siti Zubaidah Perang dengan Cina, Syair Kompeni Walanda Perang dengan Cina dan lain-lain. Menurut Ali Ahmad (1991) karya bercorak sejarah yang disebut salasilah memiliki unit cerita yang terdiri dari kisah-kisah dan legenda, namun tidak seperti hikayat yang diikat oleh perkembangan tokohnya yang stereotype, karya kesejarahan diikat oleh perkembangan kejadian dan hikmah yang dikandung dalam kejadian tersebut. Krisis yang terjadi dalam sebuah negara, yang membuat jatuhnya sebuah dinasti atau seorang raja, selalu dicari sebabnya pada krisis moral dan akhlaq, serta penyimpangannya terhadap ajaran Islam, misalnya tidak dilaksanakannya keadilan dan raja tidak lagi taat pada undang-undang dan tidak berperan sebagai pelindung rakyat dalam arti yang sebenar-benarnya.


Menurut Ali Ahmad lagi, munculnya karya kesejarahan dan hikayat yang bernaeka ragam itu, kian menjadikan kesusastraan Melayu tidak lagi streotaip, tetapi terbuka kepada berbagai-bagai kemungkinan. Ini menjadikan nilainya meningkat, dan pada saat yang sama memperkuat dasar keberadaannya, sebab ia menumpukan maknanya pada nilai Tauhid dan konsekwensi moralnya bagi mereka yang menghayati keluasan makna Tauhid. Juga karya-karya itu, serta penyebarannya yang luas, menggambarkan latar belakang tempat dan kebudayaan Melayu dengan jelasnya di mana Islam telah dihayati pada peringkat fikrah dan amalannya, dalam arti berkaitan dengan soal hubungan manusia dengan Tuhan dan berkaitan pula dengan soal hubungan manusia dengan sesamanya. Dengan demikian estetika yang ditonjolkan ialah estetika berkenaan hikmah atau Estetika Hikmah.


Karya-karya yang menggarap sfera hiburan dan estetika zahir (luaran), termasuk ke dalam jenis ini ialah Pelipur Lara. Tujuan karya seperti itu ialah menyerasikan kesan-kesan kejiwaan yang kacau disebabkan kobaran hawa nafsu, sebuah sarana penghayatan indrawi atau sensual manusia dalam menanggapi kehidupan. Kesan-kesan kejiwaan yang kacau harus diserasikan dengan nilai moral dan ajaran agama, dan upaya ke arah itu dicapai melalui bantuan keindahan karya sastra yang memberikan semacam psikoterapi kepada jiwa, yaitu menghibur atau melipur. Karangan-karangan dalam kategori ini termasuk hikayat dan syair percintaan, kisah petualangan yang dibumbui kisah-kisah luar biasa atau ajaib. Kisah-kisah ajaib ini tidak dimaksudkan sebagai mitos, melainkan sebagai representasi pengalaman jiwa manusia yang ruang kejadiannya berlaku di alam mitsal atau alam imaginal.


Alam Mitsal mempunyai tempat tersendiri dalam teori sastra dan estetika Islam. Ungkapan-ungkapan dalam puisi atau karangan sastra adalah perwujudan alam mitsal, hasil pemikiran dan imaginasi pengarang yang dijelmakan dalamm ungkapan estetik sastra. Jadi karya sastra adalah kias atau perumpamaan. Misalnya syair-syair sufi, ia tidak lain adalah kias terhadap perjalanan rohani ahli suluk dari alam jasmani menuju alam batin. Tidak jarang kisah yang tergolong pelipur lara sepertiHikayat Syekh Mardan dan Hikayat Inderaputra.digubah menjadi alegori sufi, sehingga fungsi hikayat ini berubah menjadi sarana renungan masalah keruhanian.



Kesadaran Diri dan Indivdualitas


Sering dikatakan bahwa kesadaran akan pentingnya indvidualitas baru dimulai oleh Pujangga Baru dan Chairil Anwar pada abad ke-20. Ini tidak benar sebab Hamzah Fansuri dan murid-muridnya telah mempelopori kecenderungan ini lebih kurang tiga abad sebelum munculnya Pujangga Baru Begitu pula gagasan tentang kemerdekaan penyair dalam merombak bahasa demi pengucapan estetik, yang disebut licensia poetica, secara kreatif dan luar biasa telah diterapkan lama dalam sastra Nusantara. Pada zaman Hindu ia telah dilakukan oleh Mpu Kanwa, Mpu Tanakung dan Mpu Prapanca. Tetapi yang lebih dahsyat dilakukan oleh Hamzah Fansuri dan murid-muirdnya di Sumatra pada abad ke-16 dan 17 M.


Kecuali itu karya para penyair Sumatra itu membuka babakan baru sejarah kepenyairan kita dengan puisi-puisi, yang menyajikan pencerahan profetik. Karya-karya mereka otentik sebab didasarkan atas pengalaman dan pengetahuan pribadi. Pengalaman dan pengetahuan tersebut dicapai melalui upaya intelektual dan spiritual yang disadari. Karena itu tidak mengherankan apabila banyak kritikus, seperti al-Attas, Brakel dan Braginsky, memandang Hamzah Fansuri sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu, seorang perintis jalan yang melalui karya-karyanya berhasil membawa sastra Melayu memasuki babakan yang universal dan kosmopolitan dalam semangat penciptaan.


Saya ingin mengutip pernyataan Teeuw (1992): “Mungkin pada penglihatan pertama pembaca menganggap pemakaian kata-kata Arab berlebih-lebihan dan mengganggu. Pembaca yang terbiasa menganggap puisi dapat dinikmati hanya dengan perasaan semata-mata, tanpa perlu berpikir, akan kecewa membaca puisi Hamzah Fansuri. Puisi Hamzah Fansuri memerlukan pengetahuan yang luas di bidang bahasa dan kebudayaan Arab Persia, termasuk pengetahuan tentang Islam dan tasawufnya. Kekayaan daya pikir dan luasnya pengetuan yang diperlukan untuk membaca puisi Hamzah Fansuri bukanlah tanda kelemahan atau kegagalan puisi Hamzah Fansuri. Puisi Hamzah Fansuri juga kaya dengan unsur puitik: diksi puisinya khas, ungkapan-ungkapannya kaya dan orisinal, begitu juga tamsil dan imagerinya. Juga ada kreativitas bunyi…”


Bagaimana Hamzah Fansuri menekankan pada pentingnya individualitas tampak dalam bait-bait penutup dari syair-syairnya, seperti contoh berikut ini:



Hamzah miskin hina dan karam



Bermain mata dengan Rabb al-`Alam


Selamnya sangat terlalu dalam


Seperti mayat sudah tertanam


Hamzah sesat di dalam hutan


Pergi uzlat berbulan-bulan


Akan kiblatnya picik dan jawadan


Itulah lambat mendapat Tuhan


Hamzah miskin orang `uryani


Seperti Ismail jadi qurbani



Bukannya `Ajami lagi Arabi


Nentiasa wasil dengan Yang Baqi



Seperti halnya penulis-penulis Jawa Kuna memperkenalkan bentuk-bentuk teori sastra dan estetika tersendiri, demikian pula dengan penulis Melayu Islam. Wawasan estetika dan teori sastra yang diperkenalkan itu adalah hasil penafsiran terhadap teori sastra dan Arab-Persia, khususnya dari Ibn Sina, al-Jurjani, Imam al-Ghazali., Ibn `Arabi, `Attar dan Rumi. Teori Jurjani yang diambil antara lain ialah pandangannya bahwa karangan sastra/puisi merupakan bangunan struktural yang kompleks dari pengalaman kejiwaan dan spiritual yang diungkapkan melalui bahasa figuratif (majaz) yang bersifat simbolik. Mutu karangan tergantung pada cara mengolah imajinasi (takhyil) dan kualitas pengalaman spiritual atau kemanusiaan yang disampaikannya (Abu Deeb 1988; Ismail Dehoyat 1994).


Dalam sistem estetika Melayu yang bersumber dari pandangan tokoh-tokoh tersebut, karya seni dipandang sebagai sarana transendensi, yaitu tangga naik menuju hakikat tertinggi. Penulis menyajikan obyek-obyek visual dalam karyanya sebagai citraan (tasybih) dan simbol (mitsal) untuk membawa pembaca mencapai pengalaman transendental seperti `isyq (cinta ilahi). Mengenai gambaran dunia para penulis Melayu melihat alam semesta sebagai kitab agung yang sangat indah, sebuah karya sastra agung. Sang Khalik menjelmakan dunia ini dari Perbendaharaan Ilmu-Nya yang tersembunyi (kanz makhfiy) didorong oleh Cinta. Menurut mereka lagi, dunia ditulis dengan kalam Tuhan pada Lembaran Terpelihara (lawh al-mahfudz), Sebagaimana dunia, pribadi manusia juga merupakan sebuah kitab agung, sebuah karya sastra. Pada manusia keseluruhan hikmah alam semesta direkam dengan diringkas. Hikmah-hikmah tersebut hadir sebagai ayat-ayat-Nya, yaitu tanda-tanda-Nya yang menakjubkan. Karena itu mengenal hakekat diri sangat penting bagi manusia (Abdul Hadi W. M. 2001)).



Sesuai dengan gambaran tersebut karya sastra mesti dibentuk menyerupai pribadi manusia, yang secara struktural merupakan kesatuan bangunan kejiwaan yang kompleks. Ungkapan zahir atau bentuk luar (surah) karya sastra, sebagaimana tubuh beserta gerak dan isyarat yang disampaikan anggota-anggotanya, hendaknya diusahakan dapat memberi sugesti atau isyarat tentang kehadiran rahasia Tuhan dan keberadaan gaib-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya. Demikianlah gejala-gejala alam, peristiwa-peristiwa sosial dan sejarah, keindahan obyek yang berbagai-bagai di dunia, merupakan manifestasi dari Cinta Tuhan dan Pengetahuan-Nya yang tersembunyi itu. Semua itu dihadirkan secara estetik untuk memberi efek tertentu kepada jiwa.


Cara meresapi dan memahami hakekat penciptaan, selain dengan jalan akal dan inderawi, ialah melalui peresapan kalbu atau pemahaman intuitif (`isyq). Perkataan seperti berahi, rindu, mabuk, takjub, lena, leka, gharib, asyik, karib tamasya dan lain-lain merupakan tamsil dan citraan-citraan kunci dalam estetika Melayu. Tamsil dan citraan-citraan kunci itu dapat kita jumpai dalam hikayat-hikayat Melayu, termasuk misalnya dalam penggambaran taman ghairah di istana Aceh abad ke-17 M oleh Nuruddin al-Raniri dalam Bustan al-Salatin. Begitu pengaruhnya masih dapat kita kesan dalam sajak-sajak Amir Hamzah dan Sutardji Calzoum Bachri.


Menurut Ibn Sina dan al-Jurjani, citraan-citraaan puitik puisi di dalam keseluruhan bangunan sebuah sajak, dicipta untuk memberi efek kejiwaan dan moral tertentu kepada pembacanya, bukan semata-mata efek inderawi atau sosial. Penyair-penyair sufi lebih jauh menggunakan citraan dalam puisi dengan maksud memberi efek kerohanian, khususnya kerinduan kepada Tuhan.


Jawa dan Sastra Islam



Kita beralih ke Jawa. Berakhirnya era peradaban Hindu di Jawa pada akhir abad ke-15 M, disambut dengan maraknya perkembangan agama Islam. Agama ini mulai berkembang di kota-kota pesisir Jawa Timur seperti Gresik, Tuban dan Surabaya, kemudian meluas ke Demak, Kudus, Jepara, Pekalongan, Tegal, Cirebon, Banten, Madura dan pedalaman pulau Jawa. Karya-karya bercorak Islam mulai muncul di pusat-pusat perdagangan, dan karena berkembang di pesisir maka ia disebut Sastra Pesisir. Bahasa yang digunakan bahasa Jawa Madya, perkembangan lebih baru dari bahasa Jawa Kuna. Jika pada zaman Hindu sastra ditulis di lingkungan istana dan pertapaan para brahmana, pada zaman Islam ini sastra ditulis bukan hanya di pusat-pusat kekuasaan, tetapi juga di pesantren dan pusat perdagangan. Karena itu coraknya lebih egaliter. Pada masa inilah epos-epos Arab Persia, cerita nabi-nabi, hikayat wali-wali sufi, dan sejenisnya mulai dikenal, terutama melalui versi Melayu.


Di antara genre baru yang muncul dan digemari kalangan terpelajar pada masa ini ialah apa yang disebut ‘sastra suluk’, yaitu untaian syair-syair sufistik yang bercorak naratif. Suluk biasanya disampaikan dalam bentuk tembang macapat, yaitu karangan bersajak dengan metrum-metrum tertentu khas Jawa seperti kinanti, maskumambang, dandanggula, smaradahana, dan lain-lain. Isinya ialah menyampaikan ajaran tasawuf. Suluk-suluk yang awal biasanya ditulis oleh wali-wali sufi terkemuka atau mereka yang telah mempelajari tasawuf secara mendalam. Di antara penulis suluk terkenal ialah Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Panggung, Ki Ageng Sela, Syekh Siti Jenar, dan lain-lain.


Suluk-suluk Jawa pada masa ini telah mencapai tingkat kematangan yang tinggi. Begitu asas-asas estetika penciptaannya, telah dipenuhi sebagaimana yang telah dicapai penulis-penulis Melayu pada abad yang sama (abad ke-16 M). Yang paling menonjol dari penulis-penulis sastra suluk itu ialah Sunan Bonang, wali sufi dari Tuban Jawa Timur yang hidup antara pertengahan abad ke-15 hingga awal abad ke-16 M. Kedalaman isi dan ketinggian mutu suluknya tercermin dalam kutipan dari Suluk Jebeng berikut ini:


Puncak ilmu yang sempurna


Seperti api berkobar


Hanya bara dan nyalanya


Hanya kilatan cahaya



Hanya asapnya kelihatan


Ketahuilah wujud sebelum api menyala


Dan sesudah api padam


Karena serba diliputi rahasia


Adakah kata bisa mengatakannya?


Berlindunglah semata kepada-Nya


Ketahui rumah sejati jasad ialah ruh


Jangan bertanya


Jangan memuja nabi-nabi dan wali-wali



Jangan mengaku Tuhan


Jangan mengira tak ada padahal ada


Sebaiknya diam jika tak tahu


Jangan sampai digoncang


Oleh kebingungan


(Adab dan Adat 2003:465).


Dalam keseluruhan karyanya Sunan Bonang menerapkan estetika sufi yang lahir dari peradaban Islam. Tidak mengherankan apabila sulu.k-suluknya mencerminkan apa yang dikemukakan Imam al-Ghazali dan Ibn `Arabi. Bagi mereka sastra bukan sekadar ekspresi individual sebagaimana dimengerti penulis sekarang ini, juga bukan mimesis sebagaimana diyakini kaum realis dan naturalis. Sastra adalah kias, perumpamaan, tamsil, juga metafora. Tidak begitu berbeda sebagaimana diyakini Gadamer dan Paul Ricoeur pada abad ke-20 M, yang bagi banyak sarjana dipandang sebagai teori yang benar-benar baru karena mereka tidak mengenal khazanah sastra Islam dan Timur.



Jika dirinci estetika Sunan Bonang itu, ialah sebagai berikut. Karya sastra yang merupakan kias atau metafora itu adalah hasil dari proses pemahaman dan penafsiran terhadap ajaran agama yang ditransformasikan ke dalam ungkapan estetik sastra. Sesuai dengan arti kata suluk, yaitu jalan kerohanian, sastra berperan sebagai media yang berusaha membawa penikmatnya melakukan perjalanan dari yang jasmani menuju yang ruhani. Fungsi sastra yang utama ialah: Pertama, sebagaitawajjud yaitu membawa penikmat mencapai keadaan jiwa yang riang dan mutmainah (damai). Dengan demikian seseorang dapat hidup dalam lindungan Yang Abadi; Kedua, fungsi sastra atau seni ialah tajarrud, yaitu pembebasan jiwa dari yang bendawi melalui sesuatu yang bendawi seperti suara, kata-kata, bunyi, gambar dan lain-lain. Fungsi ini bisa dicapai apabila seorang penulis mampu melakukan spiritualisasi terhadap yang sifatnya benawi dan duniawi itu, yaitu dengan menjadikannya sebagai tamsil, kias, perumpamaan, metafora, dan lain-lain. Ketiga, fungsi seni yang lain ialah penyucian diri (tadzkiya al-nafs) seperti diisyaratkan pula dalam Syair Perahu sebagaimana telah dikutip, yaitu ‘setelah iktiqad diperbaiki sudah’.



Tetapi juga harus diakui bahwa sastra merupakan sarana untuk menyampaikan hikmah atau kearifan. Tidak kalah penting adalah sastra bisa dijadikan sarana untuk menyampaikan puji-pujian kepada Tuhan dan menyebarkan gagasan-gagasan moral, kemasyarakatan dan keagamaan. Dengan demikian keindahan yang mesti disajikan dalam karya sastra tidak terbatas pada keindahan inderawi dan nafsani, juga bukan sekadar keindahan imaginatif dan emotif. Tetapi juga keindahan dari suatu pemikiran, gagasan, hikmah, kearifan dan pengetahuan ketuhanan. Atau seperti dikatakan Sunan Bonang, keindahan yang ingin disampaikan seorang pengarang dimaksudkan untuk menimbulkan kenikmatan-kenikmatan yang bermakna (rasdhika) dan penikmatan estetis yang bersifat ruhaniah (wirasa).


Akhir Kalam


Persoalannya ialah akan kita perlakukan sebagai apa khazanah sastra dan estetika yang begitu kaya itu? Apakah akan kita kaji demi perkembangan ilmu semata-mata, atau juga untuk perkembangan kebudayaan dan kreativitas? Atau akan kita lupakan karena tidak relevan? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu tentu banyak, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya dan untuk kepentingan apa? Dilihat dari sudut pandang budaya, sudah pasti khazanah itu penting dikaji dan diapreasikan secara luas ke tengah masyarakat. Ia penting sebagai sumber ilham kreativitas kita dan cermin untuk mengenal diri dan jatidiri budaya bangsa. Karya-karya klasik itu, sebagaimana karya-karya modern yang awal, perlu dibaca oleh pengarang atau penyair masa kini untuk merangsang kreativitas dan mengembangkan wawasan baru yang lebih berpijak dalam jiwa kebudayaan bangsanya. Jika dalam kehidupan sehari-jari jejak budaya bangsa kita itu sudah luntur, mau tidak mau kita harus melihat kepada teks, dan bukan semata-mata melihat konteks. Melihat konteks semata-mata akan menyebabkan kita pergi jauh ke luar diri kita. Karena ketika kita melihat konteks, kita perlu melihat teks, sebab hanya teks yang mampu membawa kita melihat ke dalam diri kita.


Karya-karya lama Nusantara sebenarnya memiliki sumber-sumber yang kaya untuk ilham bagi pembaruan. Kita dapat mengatakan bahwa beberapa pembaru seperti Chairil Anwar berhasil tanpa mempelajari khazanah sastra tradisi bangsanya, tetapi pernyataan itu lemah sekali. Jika kita baca dengan seksama dan membandingkan dengan puisi-puisi Pujangga Baru, kita akan melihat bahwa sajak-sajaknya yang revolusioner itu dibayangi oleh sajak-sajak Amir Hamzah yang romantik sufistik. Dalam sejarah sastra dunia, kita temukan pula pengarang-pengarang besar yang mendapatkan sumber ilham bagi pembaruannya dari tradisi besar kreativitas bangsanya atau khazanah sastra klasik dan tradisi estetika yang telah lama berkembang di negeri mereka. Sebut saja contoh yang telah kita kenal seperti Tagore, Muhamad Iqbal, Yasunari Kawabata, Yukio Mishima, Gabriel Marquez, Najib Mahfudz, dan Adonis.


Kendati demikian persoalan lain itu muncul. Jika teks-teks sastra klasik dan modern tidak dipelajari di lembaga pendidikan tinggi, dan apresiasi terhadapnya nihil di lembaga-lembaga pendidikan yang lebih rendah, bagaimana generasi masa kini dapat mengenal dan akrab dengan karya-karya besar dari penulis Nusantara itu? Memang, haruslah diakui bahwa tidak sedikit sastrawan dan sarjana sastra sangat prihatin terhadap kenyataan bahwa selama lebih tiga dasawarsa ini apresiasi dan pengajaran sastra makin merosot di Indonesia. Pada permulaan makalah ini juga telah dibeberkan sebab-sebab dari turunnnya minat mengkaji teks-teks sastra, klasik dan modern. Lantas apa jalan keluarnya?


Izinkanlah saya mengakhiri makalah ini dengan mengutip Gramsci dalam The Prison Notebooks(1971:324): “Titik tolak dari kerja kritik (baca:budaya) adalah kesadaran tentang siapa diri seseorang itu sebenarnya, bagaimana ‘menyadari diri sendiri’ sebagai hasil dari proses sejarah sampai detik-detik yang terakhirm, yang telah mengendapkan ke dalam diri anda suatu ketidakterbatasan jejak, yang oleh karena itu adalah kewajiban kita untuk sedini mungkin menghimpun inventaris…” Saya ingin mengartikan ‘inventaris’ dokumen-dokumen sejarah intelektual dan budaya kita, penemuan-penemuan dan hasil-hasil kreativitas suatu bangsa sepanjang sejarahnya. Upaya menghimpun itu, menafsirkan ulang dan memberinya makna baru, tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan politik atau ekonomi, apalagi oleh kepentingan prasangka-prasangka budaya dan phobia terhadap agama tertentu. Mastera harus memulai itu. Semoga.

Jakarta 24 Januari 2005

Abdul Hadi W. M.