Mitos Indianisasi: Catatan Kecil
Kalau kita baca buku George Coedes, Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, (KPG, 2010) maka kita jelas dihadapkan pada teka-teki yang menggelikan. Buku ini membuat tesis dan pernyataan bahwa Asia Tenggara, yaitu Indocina dan Nusantara mengalami Indianisasi, yaitu tersebarnya peradaban India, khususnya lewat Hindu dan Budha, ke negeri-negeri Asia Tenggara. Karena itu negeri-negeri ini disebut juga India belakang.
Anehnya, saya harus kutip kalimat-kalimat menggelikan ini disini, ada pernyataan yang membuat saya jadi tersenyum-senyum sendiri:
“Anehnya, India cepat melupakan bahwa kebudayaannya sampai ke kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Cendekiawan-cendekiawan India tidak mengetahuinya sampai baru-baru ini, ketika sekelompok kecil diantaranya, yang belajar bahasa Perancis dan Belanda, dapat mengikuti kuliah profesot-profesor di universitas Paris dan Leiden. Dengan membaca hasil penelitian dari Perancis, Belanda dan Jawa, mereka menemui sejarah suatu kawasan yang dengan kebanggaan yang wajar sekarang dinamakan ‘Greater India’ oleh mereka” (hlm. 21).
Bukankah aneh, bahwa orang-orang India itu sendiri tidak tahu kalau negerinya mendominasi peradaban dan kebudayaan sebuah kawasan lain di Asia Tenggara? Pernyataan itu sebenarnya mencerminkan juga kenyataan bahwa studi-studi sejarah adalah sepenuhnya dibuat oleh orang-orang Eropa yang lalu mendominasi pikiran para sejarawan India dan juga Asia Tenggara, yang biasa disebut Erosentris. Indianisasi jelas sebuah penggampangan dan ketidakbecusan berpikir.
Buku Coedes ini diterbitkan ulang di tahun 1967 dari tulisan awal tahun 1944, dengan revisi-revisi besar. Dan sampai sekarang kepala semua sejarawan masih bicara soal Indianisasi dan India belakang. Yang menarik, mereka sendiri kebingungan untuk mendefinisikan mengapa dan bagaimana terjadi Indianisasi itu. Sudah jelas bahwa Indianisasi bukan terjadi karena migrasi besar-besaran, karena tidak ada alasan untuk itu. Lalu dikatakan karena arus perdagangan dan imigran yang diiringi agamawan dan orang terpelajar. Tapi arus seperti ini tidak akan bisa merubah dengan cepat kebudayaan dan peradaban kerajaan-kerajaan besar Asia Tenggara menjadi ter-india-kan. Lalu mungkin saja dengan kolonisasi India. Tetapi lagi-lagi tidak pernah ada ikatan politik antara India sebagai wilayah induk dengan para koloni-koloninya tersebut.
Sementara diakui bahwa ketika orang-orang India datang ke kawasan tersebut, mereka tidak bertemu dengan orang-orang yang masih primitif dan terbelakang, melainkan sudah bertemu dengan bangsa-bangsa yang beradab. Hanya dengan persentuhan semacam ini, maka mereka berkeyakinan bahwa dengan cepat dan mudah akhirnya bangsa-bangsa tersebut kemudian mengadopsi kebudayaan India sepenuhnya. Menurut mereka, “Indianisasi pada pokoknya harus dipahami sebagai tersebarnya suatu kebudayaan yang terorganisir, yang berlandaskan konsep India tentang kerajaan, yang ciri-ciri khasnya adalah agama Hindu atau agama Buddha, mitologi purana, kepatuhan pada Dharmasastra, dan yang cara pengungkapannya adalah bahasa Sansekerta” (hlm. 43).
Konsep Indianisasi ini menurut saya jadi menggelikan, karena tidak mungkin sebuah pengaruh budaya menjadi dominan dalam jangka waktu yang begitu cepat. Hanya dari sejak dimulainya awal tarikh Masehi hingga abad-abad awal Masehi. Nampaknya konsep ini kemudian semacam dipaksakan, untuk menjelaskan adanya proses pembudayaan dari kebudayaan Hindu-Buddha yang menyebar merata di kawasan Asia-Tenggara, yang sayangnya tidak disadari oleh orang India sendiri. Perlu dicatat, bahwa Raffles juga termasuk yang mengkaitkan adanya pengaruh India di Nusantara, sementara orang India baru tahu bahwa ‘kebudayaan India’ ternyata tersebar luas di Nusantara.
Klaim yang menggelikan juga adalah adanya arca-arca Buddha asal India sebelum abad ke-5 M di Asia Tenggara, dikarenakan adanya kemampuan berlayar jauh sejak awal tarikh masehi dari bangsa India. Padahal diakui sendiri bahwa bangsa India adalah bangsa yang menganggap menyeberangi laut dan berhubungan dengan orang barbar itu membawa noda dan cemar. Demikian pula pelayaran jauh bangsa India karena adanya pencarian emas ke Nusantara (suvarnabhumi dan suvarnadvipa, pulau emas) serta pencarian rempah-rempah, kayu wangi, kamper, kemenyan dan hasil bumi lainnya. Termasuk klaim berkembangnya ilmu perkapalan dan pelayaran di India dan China. Sejak kapan bangsa India dan China menguasai ilmu pelayaran? karena mereka bukanlah bangsa bahari. Hal ini bisa dibaca di bukunya Irawan Djoko Nugroho tentang peradaban maritim Majapahit.
Demikian pula menurut mereka, Indianisasi terutama diterima oleh para elit pribumi, sementara rakyat kebanyakan masih hidup dalam animisme atau kepercayaan asli mereka masing-masing. Jadi elit atau anggota-anggota kerajaan inilah yang kemungkinan merupakan pangeran-pangeran India atau yang sudah diindianisasikan. Anggota-anggota kratonlah yang agaknya berdarah India, sementara penduduk kebanyakan tetap berdarah Nusantara. Apakah ini bukan sebuah spekulasi yang menggelikan. Termasuk spekulasi tentang klaim kecenderungan orang India untuk menulis buku-buku pedoman (sastra) tentang pelbagai segi peradaban mereka, mulai dari hukum (dharmasastra), politik (artha sastra) sampai pencarian kenikmatan (kamasastra). Menurutnya “keseluruhan kebudayaan India di Nusantara telah diperoleh dari buku pedoman, sedangkan orang India sendiri hanya berperan kecil atau bahkan sama sekali ‘tidak berperan’.” (hlm. 56)
Jadi seluruh konsep Indianisasi kepada Nusantara khususnya dan juga bangsa Indochina lainnya, kemudian telah menjadi kebenaran sejarah yang bersifat doktrin. Padahal dasar-dasarnya tidak pernah jelas, bersifat spekulatif dan penafsiran sepihak. Saya kira klaim Indianisasi ini harus kembali dibongkar, agar kita bisa melakukan rekonstruksi atas sejarah resmi, sejarah dunia yang sifatnya erosentris dan kolonialis. Sebuah penafsiran sepihak bahwa bangsa-bangsa Nusantara dan Asia Tenggara hanya merupakan wilayah pengaruh dominasi saja dari India (dan juga China), hanya karena peralatan sejarahnya tidak mencukupi dan subyektif.
Paradigma baru dari Santos dan Oppenheimer, membukakan mata kita bahwa arus migrasi dan difusi berjalan sebaliknya. Alih-alih dari India, kita sekarang harus mulai menyusun pandangan baru bahwa justru migrasi berulang-kali yang terjadi dari Nusantara karena katastrofi telah menyebarkan benih-benih peradaban ke berbagai bangsa di Asia, khususnya ke India dan China (dan kawasan dunia lainnya). India hanyalah arketype dari Nusantara, sama seperti Hindu sebenarnya adalah nama baru dari sebuah kepercayaan dewa-dewi Nusantara yang dibawa ke India dengan segala ajaran-ajarannya (Siwaisme dan Wisnuisme). Adanya pengaruh India yang kemudian belakangan datang kembali ke Nusantara, bukanlah dalam artian Indianisasi, tapi sebenarnya “pulang kampung” ke budaya asalnya. Negara seperti Kamboja, Thailand, Vietnam adalah penerima pengaruh peradaban langsung dari Nusantara. Bahkan candi Angkor di Kamboja dalam jaman sejarah klasik juga dibangun oleh orang-orang Jawa dan raja Jawa di kamboja. Tidak heran kisah Panji, yang merupakan kisah rakyat jaman Majapahit, kemudian juga menyebar secara meluas ke negara-negara Asia Tenggara, menjadi kisah Panji versi masing-masing negara sesuai konteksnya (baca Adrian Vickers tentang Peradaban Pesisir).
Dengan mendobrak doktrin Indianisasi ini, maka kita bisa mulai membangun sebuah sejarah yang sebenarnya. Sejarah yang ditulis untuk menempatkan Nusantara pada peran dan posisi yang sebenarnya dan senyatanya di masa lalu, yang banyak mempengaruhi jalannya peradaban dunia dan dapat mengisi kembali peradaban dunia di masa mendatang, karena penghargaan kita akan warisan-warisannya yang agung dan megah.
Bonnie Setiawan
Jakarta, 28 Mei 2012