Menurut para ahli geologi, bahwa Gunung Toba merupakan sejarah letusan gunung volcano tektonik yang paling spektakuler di dunia. Dengan skala letusan hingga 2.800 m3 menghasilkan kaldera Danau Toba seperti saat ini, yang terisi air selama berpuluh ribu tahun sisa hasil letusan supervulcano Toba pada 74.000 tahun yang lalu. Letusan Gunung Api ini tercatat sebagai letusan Gunung api terbesar yang berkekuatan setara dengan 20 ribu kali letusan bom Hiroshima dan Nagasaki di Jepang yang mempengaruhi iklim di seluruh dunia, hampir selama 1 tahun lebih debu vulkanik menutup atmosfer bumi oleh abu vulkanik dan hanya sekitar 10.000 manusia yang mampu bertahan melewati zaman Es akibat letusan kolosal Toba ini. Bahkan material Vulkaniknya menyebar hingga ke Afrika Selatan dan India. (Reportase Cincin Api Kompas,11/10/11)
Baik secara mitologi oleh masyarakat dan riset oleh beberapa ahli geologi dan badan peneliti asing (peneliti dari bangsa lain,pen) hingga saat ini, data otentik diyakini bahwa gunung toba telah mengalami tiga kali masa letusan meliputi letusan pertama sekitar 840.000 tahun lalu membentuk kaldera Porsea, letusan kedua sekitar 500.000 tahun yang lalu membentuk kaldera Haranggaol, dan yang terakhir sekitar 74.000 tahun yang lalu membentuk kaldera raksasa Sibadung. Catatan tersebut pun secara keseluruhan didapatkan dari catatan usang para peneliti asing yang pernah mengadakan riset tentang Gunung Toba. Mungkin jejak kebumian yang baru kita ketahui itu hanya sebagian kecil dari geodiversity Danau Toba. Lalu bagaimana dengan aspek-aspek yang lain?
Berdasarkan studi kecil-kecilan yang penulis lakukan, Gunung Toba sesungguhnya adalah awal sejarah dari hadirnya Bangso Batak di pulau Samosir yang berada tepat ditengah-tengah kaldera Gunung Toba tersebut. Namun sangat disayangkan data lengkap tentang awal kehadiran Suku Batak ini masih simpang siur karena tidak ditemukannya tulisan yang menyangkut sejarah tersebut. Sehingga cukup menyulitkan peneliti untuk memprediksi rentang waktu peristiwa letusan gunung Toba dengan kehadiran Suku Batak itu sendiri.
Selain dari hasil warisan geologinya, disadari bahwa Danau Toba pun memiliki sejumlah kekayaan warisan yang super unik mulai dari topografi, ekologi (lingkungan) dan estetika (budaya dan seni). Tepatlah bahwa Danau Toba memang layak dinobatkan sebagai salah satu GEOPARK atau kawasan konservasi sebagai bentuk kepedulian akan warisan dunia yang telah tercatat sebagai salah satu fenomena alam yang kolosal di dunia ini.
Namun ternyata sekedar mencatat segudang warisan yang bernilai sejarah itu pun masih belum cukup. Untuk menjadikannya sebagai salah satu warisan dunia yang ada, maka haruslah diadakan inventaris yang bersifat autentik. Namun lagi-lagi menjadi kendala adalah catatan sejarah yang terpercaya tak banyak ditemukan di bangsa ini. Semisal catatan tentang sejarah masyarakat batak sendiri pun diakui langka untuk ditemukan. Minimnya catatan sejarah itu menjadi kelemahan demi pencapaian prasyarat konservasi alam tersebut. Cerita itu hanya diketahui dari mulut kemulut, yang secara ilmu pengetahuan masih belum diakui kebenarannya.
Seperti konsepsi dari budayawan Irwansyah Harahap dalam diskusi bersama Earth Society (ES) dan sejumlah lembaga pecinta Danau Toba lainnya di gedung prodi (S2) seni FIB, USU, menyebutkan bahwa hilangnya catatan sejarah sejumlah poin besar warisan Danau Toba ini merupakan sebuah utang sejarah akibat tidak teridentifikasinya rantai asal mula budaya hingga lingkungannya. Malah justru fakta yang ditemukan bahwa bangsa Jerman yang dulu bermukim di Indonesia khususnya Sumatra Utaralah yang mengetahui terlebih dahulu sejarah konkret warisan-warisan itu. Nenek Moyang Bangso Batak seolah buta huruf dan tidak dapat menuliskan peristiwa demi peristiwa yang menyebarkan pomparannya turun temurun. Hal senada juga terjadi pada aspek geologinya, yang hingga saat ini masih menjadi keragu-raguan yang besar akibat belum sepakatnya sejumlah peneliti yang pernah mencatat kebenaran peristiwa letusan gunung toba tersebut.
Kemungkinan yang terjadi dimasa lalu adalah ketika zaman penjajahan maka kaum pribumi sangat dikekang kuat oleh para kolonial sehingga mempersempit ruang geraknya baik dalam hal tulis menulis. Sehingga ketika itu pun tentunya pihak asing dengan leluasa mempersilahkan para peneliti maupun missionaris sebangsanya untuk mencatat sejarah tersebut dan menjadikannya inventaris pribadi mereka. Lalu bangso Batak hanya ditinggalkan cerita takhayul yang kebenarannya berada ditangan bangsa lain. Takut-takutnya bangso batak inilah yang menjadi kendala studi banding historis warisan geodiversity Danau Toba tersebut. Catatan otentik sejarah gereja yang telah ada di Samosir salah satunya malah lengkap berada ditangan Jerman.
Konservasi Unsur-unsur Warisan Danau TobaKurangnya pengetahuan masyarakat akan nilai historis asal muasal Danau Toba dan bangso Batak sendiri merupakan penyesalan yang disadari kini. Coba bandingkan dengan Bali yang memupuk dan melestarikan nilai-nilai budayanya, menghantarkan danau Batur menjadi kawasan GEOPARK yang telah dipatenkan oleh UNESCO. Meskipun faktanya Sejarah Danau Toba dan kekayaan warisannya justru lebih melimpah. Tentunya ini memang sudah menjadi kesalahan dan utang masa lampau. Ditambah lagi kurangnya kesadaran perlindungan dan pelestarian peninggalan-peninggalan bersejarah oleh masyarakat itu sendiri semakin memperlengkap punahnya nilai mahal warisan dunia itu.
Dengan menyadari bahwa Danau Toba ternyata berlimpah warisan, maka perlulah sebuah langkah pasti untuk melindungi dan melestarikan keanekaragaman tersebut dalam bentuk konservasi menyeluruh. Kawasan Danau Toba yang sangat tepat dijadikan sebagai GEOPARK atau Taman Bumi yang telah diusulkan oleh UNESCO tersebut akan diberdayakan sebagai lahan pembelajaran tentang Ilmu Kebumian (geologi), tempat penelitian (research), museum dan tujuan wisata.
Untuk mencapai tahap itu, tentunya harus melalui kesiapan-kesiapan secara fisik. Pembenahan ini dimulai dengan mengenal seluruh topografi kawasan Danau Toba, mengadakan pemetaan ulang dan pembenahan data-data yang masih simpang siur diberbagai aspek hingga merevitalisasi nilai-nilai estetika baik dalam budaya dan seninya. Proses revitalisasi ini tentunya sangat melibatkan peran serta masyarakat sebagai penduduk asli yang masih tetap menjunjung nilai-nilai budaya, seni dan keyakinannya. Oleh karena itu, dibutuhkanlah komitmen dan kerja keras demi pencapaian pemulihan kembali aspek-aspek yang saat ini kita tahu sudah mengalami pemudaran. Seperti hal dari segi data otentik warisan geologi (geological heritages) harus didapatkan kembali secara faktual. Sedang dari segi warisan budaya (Cultural Heritage) seperti warisan seni (pahat, tenun, musik tradisional, dan tari), budaya (adat istiadat, tutur/marga dan bahasa) serta keyakinan (Kristen, Islam dan Parmalim) yang kita saksikan sudah mengalami kepunahan secara berkala, harus segera diselamatkan dengan revitalisasi penuh, mengadakan studi lanjut atas catatan masa lampau dan membenahi konsep pemahaman masyarakat tentunya.
Dengan adanya komitmen bersama untuk bergerak membenahi kawasan Danau Toba ini agar layak sebagai GEOPARK - pusat konservasi warisan dunia, mudah-mudahan akan menghantarkan Danau Toba sebagai kawasan penelitian (oleh anak-anak bangsa,pen), ilmu kebumian, tempat museum serta tujuan wisata. Bahkan hal yang terpenting adalah kembalinya sejarah yang sempat punah dan harus dipatenkan sebagai milik bangso batak hingga pada generasi berikutnya serta menghilangkan sikap takut-takutnya mencatat sejarah. Sesungguhnya Danau Toba itu sangat kaya, oleh karena itu sadarilah bahwa Nenek Moyang kita (Bangso Batak) punya hutang masa lampau yang harus diselesaikan dengan berkontribusi bersama-sama melindungi warisan Danau Toba.Semoga! Salam Bumi dan Danau TobaLori Mora