Kategori 1 (Generasi awal atau Mutaqoddimin, pencetus Mazhab Asy’ariyyah).
Pada kategori 1 ini sebetulnya terbagi lagi menjadi beberapa sub.kategori pemikiran, hal ini disebabkan ternyata pada Generasi pencetus inipun masing-masing proponen pada generasi ini membawa konsep yang berbeda pula. Sehingga pada Generasi Mutaqoddimin ini dapat dibagi menjadi beberapa sub kategori, yakni;
Sub.Kategori 1.1. Kita bisa mendapuk Abu’l Hasan al-Asy’ari disini sebagai tokoh sentralnya. Setelah beliau “taubat” dari Mu’tazillah, beliau kemudian menyatakan kembali berafiliasi pd Imam Ahmad (salah satu representasi Aimmah Ahlu’l Hadits/Ahlu’l Sunnah). Namun, sayangnya beliau tidak langsung merujuk kepada Imam Ahmad tapi “mampir” terlebih dulu melalui Ibn Kullab sehingga muncullah doktrin “Kalam Nafsy Qadim”. Menariknya, baik Ibn Kullab maupun Imam al-Asy’ari sama-sama menolak bahasan diskurskus kosmologi ala Filsafat Paripatetik khususnya tentang pembuktian “Huduth al-Ajsam”, menurut beliau, topik itu menyimpang dari metode / keyakinan tradisi Sunnah.
Catatan menarik lagi, dalam karya terakhir beliau (al Ibaanah maupun al Maqaalat), beliau mengafirmasi posisi Allah di Atas (’uluww), sifat Khabariyyah maupun sifat Fi’liyyah tanpa Ta’wil. Sikap ini pula diikuti oleh para santri utama beliau seperti Abu Abdullah bin Mujahid, Abu al-Hasan al-Bahili dan Ibn Mahdi al-Tabari.
Sub.Kategori 1.2. Kelompok ini berpusat pada ketokohan Abu Bakr al-Baqillany sebagai konseptor utamanya. Al-Baqilany ini “unik”, sebab bahasan-bahasan Filsafat paripatetik dimana pada era al-Asy’ari dikategorikan sebagai bahasan “sesat”, “menyimpang” namun bagi al-Baqilany, bahasan tersebut (pembuktian huduth al-ajsam) malah diadobsi dan dielaborasi dalam konsep-konsep “asy’ariyyah” versi al-Baqillany. Sehingga ditangan al-Baqilany inilah “belief”nya Filsafat Paripatetik dibawa masuk dalam konsep Asy’ariyyah.
Patut menjadi catatan, walaupun al-Baqilany memiliki sikap berbeda terhadap bahasan Filsafat tersebut namun, beliau dalam membahas mengenai Posisi Allah, Sifat-sifatNya baik Khabariyah maupun Fi’liyyah bersikap sama dgn pendahulunya yakni Imam al-Asy’ari (menolak Takwil) dan beliau mengecam keras orang-orang yang berbicara tentang hal tersebut diluar kerangka Ahlu’l Sunnah.
Dari pembahasan diatas secara umum bisa dikatakan bahwa Asy’ariyyah Mutaqoddimin ini mempunyai kesamaan yakni sama-sama menolak Takwil dalam bahasan tentang Posisi Atas Allah, Sifat Khabariyyah dan Sifat Fi’liyyah.
Kategori 2 (kalangan Asy’ariyyah Muta’akhirin)
Secara umum dalam konsepsi-konsepsi Asy’ariyyah Muta’akhirin banyak dipengaruhi oleh usaha-usaha “hibridasi” Filsafat, Zandaqah, Jahmiyyah, Tasawwuf Falasifah (bathiniyyah-isyraqiyyah) kedalam konsepsi Teologi-nya. Usaha tersebut kemudian membuat mereka terjerumus dalam konsepsi maupun terma-terma Paripatetik sehingga memunculkan doktrin I’tizaal dalam membahas mengenai Allah, posisiNya dan sifat-sifatNya.
Hal ini dimulai pada era Abu Mansur al-Baghdadi , dimana beliau membuat takwil tentang ‘uluww, istiwaa dan sifat khabariyyah. Sedikit berbeda dengan al-Baghdadi, al-Bayhaqi (murid al-Baghdadi) walaupun mempunyai pandangan yang sama dgn gurunya tentang takwil ‘uluww dan istiwaa’, namun beliau bersikap menolak takwil atas sifat Khabariyyah.
Puncaknya, Asy’ariyyah Muta’akhirin ini berbeda dengan Asy’ariyyah Mutaqoddimin dan semakin menjauh dari Ahlu’l Hadits / Sunnah yakni dimulai pada era al-Juwayni yang membawa masuk konsep-konsep Jahmiyyah-Mu’tazillah, salah satu produknya yakni konsep “sifat ma’nawiyyah” yg diadobsi dari konsep “Ahwaal”nya al-Jubaa’I (Muktazilah). Sedang dimasa al-Qusyairi, Asy’ariyyah menjadi lebih dekat dengan Tasawuf Falasifah.
Dimasa al-Ghazali dan al-Razi, Asy’ariyyah sudah menjadi sangat jauh konstruknya dengan Asy’ariyyah dimana Imam al-Asy’ari dan Imam al-Baqillany. Ditangan mereka (al-Ghazali dan al-Razi), konsep-konsep asy’ariyyah menjadi lebih mendekati Filosuf Paripatetik semacam Ibn Sina, Abu Hayyan al-Tawhidi, Ikhwan al-Shafa (bathiniyyah). Hal ini berlanjut diera al-Aamidii hingga sekarang ini.
Sehingga adanya doktrin I’tizaal tersebut amat terkait dengan pengaruh Filsafat yang adopsi dikalangan Asy’ariyyah Muta’akhirin dan kemudian menjadi mazhab populer sejak abad 5 Hijriyah.
Kategori 3 (kalangan Ahlu’l Hadits/Sunnah Non Asy’ariyyah yang hidup diera populernya mazhab Asy’ariyyah Muta’akhirin).
Yang masuk kategori ini antara lain tokoh-tokoh Ahlu’l Sunnah seperti al-Qurtubi, an-Nawawi, Ibn Hajar al-asqalany. Dimana mereka hidup diera populernya term-term Asy’ariyyah Muta’akhirin. Yang secara tidak sengaja membawa istilah-istilah I’tizaal dalam karya-karya mereka tanpa bermaksud menjadikannya sebagai landasan epistemologis mereka, sebab mereka jelas-jelas menolak dan mengecam keras bahasan ilmu Kalam dan Filsafat.
Penggunaan istilah-istilah tersebut dalam karya-karya mereka bisa dimaklumi disebabkan begitu kuatnya kepopuleran Asy’ariyyah Muta’akhirin tersebut sehingga kemungkinan mereka “kesulitan” dalam mencari format bahasa yang tepat untuk menunjukkan manifestasi keyakinan mereka (ahlu’l Sunnah dimasa itu). Hal ini sama seperti “kesulitan” para Ahlu’l Sunnah ketika Muktazillah menjadi begitu populer diawal abad 3 Hijriyah.
Catatan:
Patut direnungkan bersama bahwa, Hibridasi & Pengadopsian keyakinan Filsafat Paripatetik ala “Jadali”nya Mutakallimin seperti kalangan Asy’ariyyah khususnya pada era Muta’akhirin tersebut pada hakikatnya adalah sebuah usaha yang sama dilakukan pula oleh para “Mutakallimin” baik dari kalangan Yahudi, Nasrani (seperti Philo Judeus, Agustine of Hippo, maupun T. Aquinas). Sesungguhnya usaha usaha semacam itu telah menimbulkan “kekacauan” konstruk epistemologi yang dahsyat, yang berujung adanya keseragaman definisi “Theis/Tuhan” dibawah bayang-bayang Paganisme Plato dan Aristoteles.
Konsekwensi atas penerimaan kerja-kerja para Mutakallimin itu hanya akan berujung pada Tragedi. Hal tersebut menjadi justifikasi bagi penganut Pluralisme Agama bahwa ternyata definisi Tuhan ataupun kepercayaan terhadap Tuhan (Theis) itu adalah SAMA disemua level agama dan budaya.
Haditya Endrakusuma