SHALAWAT GLOBAL YANG KELEWAT GOMBAL
.Anda ingin tahu apa jadinya jika urusan ibadah dan akidah dioplos dengan kemusyrikan, kekafiran dan komoditi seni? Jawabannya ada dalam “Shalawat Global” made in Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), budayawan asal Jombang, Jawa Timur – satu daerah dengan dukun cilik Ponari dan tukang jagal Ryan. Shalawat ini mencuat setelah video pementasannya di depan jamaah Pengajian Tombo Ati disebarluaskan di internetDalam video Shalawat Global, tampak Emha dan anak buahnya berseragam putih-putih, para penyanyi pria mengenakan peci putih sedangkan wanitanya memakai jilbab putih. Dengan wajah-wajah sumringah penuh semangat, mereka melantunkan beberapa lagu gereja yang sangat populer dengan aransemen khas gamelan Jawa. Lirik lagu-lagu gereja tersebut diubah, diarabkan dan diisi dengan shalawat nabi yang begitu populer di kalangan Nahdiyin. Dua lagu populer gereja yang dicomot Emha adalah “Hevenu Shalom Aleikhem” dan lagu Natal “Joy to the World.”
Lagu “Hevenu Shalom Aleikhem” ciptaan Goldfarb, seorang Rabi Amerika Israel pada bulan Mei 1918 ini sangat populer di kalangan orang Israel maupun umat kristiani. Sedemikian masyhurnya melodi ini di berbagai belahan dunia, sampai-sampai ada yang menganggap bahwa lagu ini adalah warisan Nabi Musa di Gunung Sinai. Bagi orang Yahudi, Shalom Aleikhem adalah lagu adat dinyanyikan pada malam Sabtu (Sabbath Yahudi) dengan sangat gembira dan penuh suka cita. Lirik lagu ini adalah sbb:
“Havenu shalom, shalom aleikhem, shalom, shalom aleikhem. Havenu shalom, shalom aleikhem, shalom, shalom aleikhem. Shalom, shalom aleikhem. Ku bawa b’rita sejahtera, damai, damai t’lah datang. Ku bawa b’rita sejahtera, damai, damai bagimu. Damai, damai bagiku.”
Oleh Emha, lagu Israel ini diplagiat menjadi unsur Shalawat Global dengan mengarabkan liriknya menjadi: “Alaika salam alaikum. Alaika salam alaikum. Alaika salam, salam, salam alaikum…”
Sedangkan “Joy to the World” ciptaan Issac Watts (Inggris) tahun 1719 adalah lagu Natal yang sangat populer bagi umat Kristen, karena di setiap perayaan Natal lagu ini dikumandangkan, bersama lagu natal yang lain: Malam Kudus (Silent Night), Gita Surga Bergema (Hark, The Herald Angels Sing), White Christmas, Jingle Bells,[1] dll.
Di Indonesia, himne natal “Joy to the World” bisa ditemui dalam Kidung Jemaat 119 dengan judul “Hai Dunia Gembiralah” dengan lirik sebagai berikut:
“Hai dunia, gembiralah dan sambut Rajamu! Di hatimu terimalah! Bersama bersyukur, bersama bersyukur, bersama-sama bersyukur. Hai dunia, elukanlah Rajamu penebus! Hai bumi, laut, gunung, lembah, bersoraklah terus, bersoraklah terus, bersorak-soraklah terus!”
Lirik lagu tersebut diambil dari nas kitab Mazmur 98, karena ayat ini diyakini menubuatkan kedatangan Yesus Kristus (sang Mesias) dan penggenapan Perjanjian Baru, bahwa Yesus lahir untuk mati di atas kayu salib menggantikan/menebus orang berdosa. Pujian dalam lagu ini menyatakan Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan yang disambut dengan penuh suka cita.
Dalam pandangan Islam, doktrin penebusan dosa oleh darah Yesus di tiang salib adalah akidah yang batil karena tiga alasan utama:
Pertama, Turunnya Adam ke dunia (hubuthu Adam) tidak menyebabkan dosa waris kepada anak-cucunya, karena tindakan Adam yang melanggar perintah Tuhan itu bukan kesengajaan, melainkan satu kealpaan (Qs. Thaha 115, 122). Di samping itu, Adam dan Hawa sudah bertaubat dan minta ampun kepada Allah (Qs. Al-A’raf 23), dan Allah pun mengampuni keduanya (Qs. Al-Baqarah 37), karena Allah Maha Adil, Penyayang dan Pengampun yang menjanjikan rahmat dan ampunan kepada hamba-Nya yang bertobat (Qs. Az-Zumar 53-54, Al-Ma’idah 74). Kedua, Allah SWT menekankan adanya tanggung jawab individu manusia atas segala perbuatannya masing-masing (An-Najm 38-39, Al-An’am 164, Al-Isra’ 15, Al-Baqarah 123, 286, Luqman 33, Yasin 54, At-Thur 21). Ketiga, Doktrin kematian Yesus di tiang salib juga tertolak karena beliau tidak mati disalib (An-Nisa’ 157).
Naifnya, lagu Natal yang beraroma kemusyrikan karena meniupkan doktrin Kristen ini diplagiat Emha dalam album “Shalawat Global” dengan mengganti liriknya menjadi shalawat nabi SAW sbb: “Ya Nabi salam alaik, ya Rosul salam alaik, ya Habib salam alaik, sholawatulloh alaik… Rosulillah, sholawatulloh alaik. Rosulillah sholawatulloh alaik.”
.
Jejak Emha Ainun Nadjib di Gereja
Kalau dicermati, memang sejak sering blakrakan ke gereja di berbagai kota di Indonesia bahkan sampai ke Roma Italia,[2] Belanda dan Jerman, Emha sangat ahli mengawinkan shalawat Nabi dengan lagu-lagu yang beraroma kemusyrikan. Dan Shalawat Global bukanlah hasil karya Emha satu-satunya.
Jauh sebelumnya, Sabtu malam setelah shalat tarawih (14/10/2006), dalam acara bertajuk “Pagelaran Al-Qur’an dan Merah Putih Cinta Negeriku” di Mesjid Cut Meutia, Jakarta Pusat, Emha dan gamelan Kiai Kanjeng melantunkan Shalawat Malam Kudus. Shalawat ini adalah hasil perpaduan (medley) antara lagu natal Malam Kudus (Silent Nigt) dengan Shalawat: “Sholatullah salamullah, ‘ala thoha Rasulillah, sholatullah salamullah, ’ala yaasin Habibillah.” Anehnya, Emha dan Kiai Kanjeng mendapat applaus yang sangat meriah dri hadirin. Dengan bangga Emha berujar, “Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, tapi saya bershalawat.”
Omongan Emha ini menunjukkan bahwa dia adalah orang yang hobi nggombal. Gombalnya bukan sembarang gombal, tapi gombal mukiyo. Sudah jelas menyanyikan lagu Natal kristiani yang liriknya dimanipulasi, kok tak malu-malu nggedabrus di rumah Allah, mengaku bahwa ia sedang bershalawat nabi? Ah, Cak Nun, nggombal kok cik nemene, rek…!
Setahun berikutnya Emha mendukung ulang tahun ke-73 Paroki Pugeran Yogyakarta (8/8/2007) dengan tampil sebagai pembicara dalam dialog bertema “Membangun Habitus Kebangsaan Baru” di halaman gereja tersebut. Di akhir acara, Emha mempersembahkan lagu penutup berjudul “Hubbu Ahmadin” yang diaransemen dengan irama orkestratif gerejawi. Lagu ini dinyanyikan secara bergantian oleh Kiai Kanjeng dan tim paduan suara yang terdiri dari para biarawati. (Koran Seputar Indonesia, 31 Agustus 2007).
Setahun kemudian (6-21/10/2008) Emha bersama istrinya, Novia Kolopaking dan rombongan Kiai Kanjeng melakukan pementasan di enam kota Negeri Belanda yakni Den Haag, Amsterdam, Deventer, Nijmegen, Leeuwarden dan Zwole, atas undangan Centre for Reflection of the Protestant Church bekerjasama dengan Hendrik Kraemer Institute. Di Den Haag, Emha dan KiaiKanjeng manggung di Gereja Christus Triomfater. Dengan tema ‘Voices & Visions’, Emha mempersiapkan nomor-nomor musik yang dikemas sesuai dengan tema dialogis antarbudaya dan antaragama, salah satunya adalah lagu yang sedan naik daun di Belanda dengan aransemen baru ala gamelan Kiai Kanjeng.
Jadi, Shalawat Global adalah lagu-lagu (Kidung Jemaat) Natal yang liriknya diganti dengan shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW. Dengan kata lain, Shalawat Global yang di“sunnah”kan Emha adalah lagu dengan irama gamelan hasil kawin-silang antara lagu Natal Yesus Kristus dengan shalawat Nabi Muhammad SAW. Maka, kalau mau jujur, lagu-lagu Emha itu tidak pantas dijuluki “Shalawat Global.” Judul yang paling tepat adalah “Kidung Jemaat Gamelan Krislam,” yaitu perpaduan lagu rohani Kristen dan Islam.
.
Shalawat Global versus Wasiat Nabi SAW
Shalawat Nabi adalah ibadah yang disyariatkan Allah dalam surat Al-Ahzab 56, yang lafalnya telah ditentukan Rasulullah dalam berbagai hadits shahih ada 10 macam. Shalawat yang terpendek adalah “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad.”
Lantas, bagaimana keabsahan Shalawat Global hasil kreasi Emha yang meracik sendiri shalawat gaya baru dengan melodi lagu-lagu Natal yang mengusung doktrin ketuhanan Yesus dan penebusan dosa?
Dalam pandangan Al-Qur’an, salah satu perbuatan yang diharamkan Allah adalah mencampuradukkan haq dan batil. Allah berfirman:
وَلاَ تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui” (Qs Al-Baqarah 42).
Dalam menjelaskan ayat tersebut, Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip ucapan Qatadah:
وَلاَ تَلْبِسُوا اْليَهُوْدِيَّةَ وَالنَصْرَانِيَّةَ بِاْلإِسْلاَمِ. إِنَّ دِيْنَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ، وَاْليَهُوْدِية وَالنَّصْرَانِيَّة بِدْعَة لَيْسَتْ مِنَ اللهِ.
“Janganlah kamu campuradukkan agama Yahudi dan Nasrani dengan dinul Islam. Sesungguhnya din yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam, sedangkan Yahudi dan Nasrani adalah bid’ah yang bukan berasal dari Allah.”
Dengan kaidah tersebut, maka mengoplos lagu Natal gerejawi dengan shalawat Nabi sama sekali tidak dibenarkan karena termasuk mencampuradukkan tauhid (Islam) dengan kemusyrikan agama kafir.
Lantas bagaimana jika Shalawat Global itu ditujukan untuk mengekspresikan kecintaan dan pujian kepada Nabi Muhammad SAW?
Perlu diingat, bahwa apa yang dianggap baik tidak otomatis menjadi sebuah kebaikan. Dalam urusan agama, niat baik saja belum cukup, karena niat yang baik harus diiringi dengan perbuatan baik sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Demikian pula dalam memuji dan bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, harus sesuai dengan aturan Nabi SAW, salah satunya adalah sabdanya berikut:
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلاَم فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ.
“Dari Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kalian menyanjung-nyanjung aku seperti kaum Nasrani menyanjung Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba Allah dan rasul-Nya” (HR Bukhari, Ahmad dan Ad-Darimi).
Secara tegas dan jelas, Rasulullah melarang penyanjungan (pujian, shalawat, dll) yang meniru-niru tradisi orang Kristen. Maka bershalawat kepada nabi dengan cara yang meniru-niru (tasyabibuh) kepada tradisi orang Kafir adalah perbuatan yang tidak bisa dibenarkan secara agama. Bukankah meniru-niru tradisi orang kafir itu juga perbuatan yang dilarang keras oleh Allah dan rasul-Nya?
وَلاَ يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ
“…Janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya…” (Al-Hadid 16).
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang meniru suatu kaum maka dia termasuk dalam golongan mereka” (HR. Abu Daud dan Ahmad).
Tepatlah fatwa Syaikh Muhammad At-Tamimi dalam kitab “Masa’il Jahiliyah” yang merinci 128 perilaku dan akhlak kaum Jahiliyah. Salah satu ciri khas kaum jahiliyah yang menyelisihi Rasulullah SAW adalah tanaqudh (kontradiktif) antara klaim dan perbuatan. Penisbatkan orang jahiliyah kepada para nabi selalu dibarengi dengan penyelisihan kepada para nabi tersebut.
Bershalawat kepada Rasulullah SAW dengan cara menjiplak gaya kaum kafir yang notabena dilarang keras oleh Rasulullah SAW, inilah fenomena Shalawat Global yang diajarkan Emha Ainun Nadjib kepada jemaatnya.
.
Gombal Mukiyo di Kepala Emha Ainun Nadjib
Dengan menelaah tulisan-tulisan Emha di berbagai media, kita tidak akan heran apalagi kaget dengan hasil karya Emha yang ciri khasnya adalah tidak lucu, tidak serius, dan nggedabrus asal beda dan terlihat aneh. Kita akan menyimpulkan, ternyata Shalawat Global bukanlah satu-satunya gombal Emha yang menjadikan agama sebagai permainan (la’ibun) dan senda-gurau (laghwun). Berikut ini adalah contoh beberapa daftar gombal Emha. Sengaja penulis tidak menyertakan tanggapan maupun koreksinya, karena secara kasat mata semua orang bisa metani (meneliti) keanehan maupun kejanggalan tersebut:
Mendramatisir Tuhan
“Sepertinya Tuhan harus lebih berterus terang di hari-hari depan bangsa Indonesia ini, dan sama sekali tidak bisa mengandalkan kecerdasan atau iktikad baik kita untuk melakukan rekapitulasi terhadap apa dan siapa yang sebenarnya kita butuhkan dan apa siapa yang sesungguhnya menghancurkan kita.” (Kolom Emha berjudul “Tempurung-Tempurung Jahat” di website padhangmbulan.com).
Memanusiakan Tuhan
“Februari nanti Sidoarjo akan berulang tahun dengan pencanangan “Sidoarjo Bangkit”. Dan kelihatannya Tuhan sangat mensupport dan turut mempersiapkan segala sesuatunya secara effektif” (Kolom Emha berjudul “Anugerah Agung bagi Korban Lumpur” di padhangmbulan.com, Harian Surya 22 Desember 2007).
Melukiskan Tuhan dengan Kalimat yang Seronok (Tuhan disebut memeloroti celana?)
“Kalau pelaku-pelaku terpenting dari jalannya managemen negara ini lolos tidak terpeleset atau terjerembab atau terjerumus ke jurang dari jalanan licin itu, maka kita punya kemungkinan untuk selamat. Kalau apa yang selama ini berlangsung tidak bergerak menuju perubahan-perubahan yang siginifikan, maka kecemasan adalah tindakan mulia. Mungkin sangat sedikit di antara kita yang memperhatikan bahwa puncak-puncak dari makin banyak dunia aktivitas – apa itu kesenian, ormas, budaya ketokohan, institusi kepemerintahan, dlsb — sedang satu persatu “dipelorotin celananya” oleh sejarah, lebih amannya: oleh Tuhan. “Dipelorotin celananya” itu maksudnya ditunjukkan kepada publik wajah mereka yang sebenarnya” (Kolom Emha berjudul “Tempurung-Tempurung Jahat” di website padhangmbulan.com).
Bangga Mengaku Dirinya Sebagai Setan
“Anda orang yang sangat cinta dan karib dengan Muhammad SAW sehingga Anda bersifat Muhammadiyah, berwatak bak Muhammad, sementara kami adalah setan-setan yang tidak punya andalan apapun untuk mencintai Muhammad. Anda mungkin bagian penting dari Perhimpunan Orang Alim atau Nahdlatul Ulama, sementara kami lebih pantas dicampakkan ke kubangan Nahdlatus-Syayathin: gerombolan setan-setan… Kami para setan terletak pada maqam yang sangat susah dan dilemmatis. Kami takut kepada Allah, tetapi terlanjur bersumpah akan membuktikan kepada Tuhan hujjah atau argumentasi kepada dulu Iblis di Bapak Setan ogah bersujud kepada Adam…
Ini bukan sesuatu yang dibikin-bikin. Saya ini sendiri –bukan sekedar dalam pandangan saya, tetapi juga terutama pada pandangan mereka yang karib dengan Allah: adalah juga setan. Sehingga wajah saya adalah wajah setan, rambut saya adalah rambut setan, nyanyian saya adalah nyanyian setan, puisi saya adalah puisi setan, dan orang-orang yang bersama saya adalah teman-temannya setan.” (tulisan Emha berjudul “Belajar Kepada Majlis Setan” yang dimuat di kolom Bangbang Wetan koran Surya 20 Oktober 2007, dan dipublikasikan di Kolom Emha website padhangmbulan.com).
Secara Simbolik-Dinamik Menyebut Tuhan Telah Memperistri Makhluk-Nya
“Secara simbolik-dinamik sering saya memakai idiom persuami-istrian. Sebagaimana Allah ‘memperistri’ makhluk-makhlukNya, lelaki ‘memperistri’ perempuan dan Pemerintah ‘dipersuamikan’ oleh rakyat — maka ummat manusia dinobatkan menjadi ’suami’ bagi alam semesta. Tugasnya adalah menghimpun ilmu, melakukan pemetaan, menyusun disain dan methodologi, menggambar dan mensimulasikan sistem dan managemen untuk memproduksi “rahmatan lil’alamin” (Kolom Emha berjudul “Bukan Kesesatan Benar Menusuk Kalbu” di padhangmbulan.com).
Semangat Pluralisme: Menganjurkan untuk Menjadi Penganut Allah, Muhammad, Yesus, Budha dan Sang Hyang Widhi.
“Maka tak pernah ada keberanian pada diri saya untuk mengajak orang lain, apalagi untuk meyakini apa yang saya yakini, untuk berpikir seperti saya berpikir, untuk menganut apa yang saya anut. Setiap orang jangan memandang saya. Pandanglah Allah, Muhammad, Yesus, Budha, Sang Hyang Widhi: take it or leave it. Atau tak usah memandang siapapun kecuali dirimu sendiri, kepentinganmu sendiri, sebagaimana Firaun. Engkau merdeka bahkan untuk menjadi Firaun. Itu urusanmu dengan Tuhan dan dirimu sendiri, bukan dengan saya.” (Kolom Emha berjudul “Bukan Kesesatan Benar Menusuk Kalbu” di padhangmbulan.com).
Shalat Sama dengan Rujak Cingur dan Pecel Karena Sama-sama Bisa Memabukkan
“Jangankan narkoba: air sajapun memabukkan kalau sekali minum setengah drum. Nasi, rujak cingur, rawon, pecel, semua memabukkan jika tidak dikontekstualisir secara ruang dan waktu. Mungkin itu sebabnya Tuhan suruh kita sholat lima waktu yang keseluruhannya hanya butuh waktu sekitar setengah jam. Kita pasti mabuk kalau Tuhan kasih metoda sholat yang satu kali sholat butuh 3 jam, sehingga 5x sehari jumlah waktunya menjadi 15 jam. So sholat sajapun memabukkan dan berakibat negatif kalau tidak tepat satuan ruang dan waktunya” (Kolom Emha berjudul “Gerakan Majnun Internasional” di padhangmbulan.com).
Narkoba Lebih Berbahaya daripada Neraka?
Maka narkoba itu 10x lipat setan iblis efektivitasnya untuk memajnunkan manusia. Narkoba itu melebihi neraka, dan pemakai narkoba adalah manusia terbodoh tiada tara. Di dalam neraka saja orang kesakitan tersiksa tetapi memiliki kemuliaan karena sedang menjalani hukuman alias pembersihan. Orang bersalah yang dihukum itu harus bangga karena memang demikianlah yang benar. Salah + tidak dihukum = Salah kwadrat. Salah + dihukum = Benar. Orang yang dipenjarakan dan dimasukkan neraka berarti menjalankan kebenaran.” (Kolom Emha berjudul “Gerakan Majnun Internasional” di padhangmbulan.com).
Mempersilahkan lahirnya aliran sesat Syi’ah, karena semakin banyak golongan semakin menghibur
“Sebagaimana kalau jumlah pemeluk Islam ada sejuta, maka dimungkinkan ada sejuta aliran, dipersilahkan setiap orang memberlakukan tafsirnya masing-masing, dan satu-satunya yang berhak menagih pertanggung-jawaban adalah Tuhan. Silahkan ada golongan NU, Muhammadiyah, Persis, Persis NU, Persis Muhammadiyah, Muhammad NU, Sunni, Syiah, Sun’ah, Syinni, PKNU, Langitan, Bumian, Lautan, Gunungan, PKB Alwiyah, PKB Wahidiyah, PKB Muhaiminiyah, PKB Yenniyah… semakin banyak semakin demokratis dan menghibur” (Kolom Emha berjudul “Gus Muhammad SAW” di padhangmbulan.com).
Majelis Ulama Indonesia dan Al-Qiyadah Al-Islamiyah Sama Sesatnya
Di tengah gencarnya kecaman terhadap Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang dianggap menyebarkan ajaran sesat, budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) justru mengemukakan bahwa semua orang dan kelompok berada dalam kesesatan, termasuk kiai, ulama bahkan orang-orang MUI (Majelis Ulama Indonesia) sendiri yang sering memberikan lebel sesat: “Kalau MUI bilang ajaran itu sesat, MUI juga sesat. Sesama sesat tidak boleh saling mengganggu” (www.republika.co.id).
Assalamu’alaikum bukan monopoli Islam
Yogyakarta, Kompas – Kerukunan antarumat beragama di Indonesia masih berpeluang besar untuk terwujud jika setiap umat mau membuka diri untuk bergaul. Selama ini interaksi itu kerap terhambat hanya karena kesalahpahaman akan istilah linguistik tertentu.
Budayawan Emha Ainun Najib, yang akrab disapa Cak Nun, mencontohkan pengucapan salam antarumat adalah contoh hambatan yang masih kerap terjadi. “Kalimat assalamualaikum, misalnya, seolah-olah hanya menjadi milik umat Islam, padahal semua umat boleh mengucapkannya sekaligus membalas salam ini,” kata Cak Nun. (Kompas, 10 Agustus 2007).
.
Disukai Orang Gereja, Dipisuhi Korban Lapindo
Selain dikenal sangat pluralis, Emha Ainu Nadjib yang oleh warga Sidoarjo akrab dipanggil “Ngainun” juga ingin tampil sebagai sosok yang humanis. Ketika Porong dan sekitarnya ditimpa musibah lumpur Lapindo sejak 29 Mei 2006, persoalan utama yang berlarut-larut dari tahun ke tahun adalah relokasi dan ganti rugi atas hak-hak warga yang rumahnya tidak bisa ditempati karena menjadi korban lumpur.
Di tengah himpitan bencana itu, awal Juli 2007, sebanyak 11 ribu korban lumpur memberikan mandat tertulis kepada Ngainun untuk mencari solusi dengan membawa persoalan itu kepada presiden SBY di Cikeas. Sebagai mediator Ngainun dan kelompoknya membentuk Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL). Karena kekecewaan warga, akhirnya GKLL itu terbelah dengan berdirinya kelompok Gerakan Pendukung Peraturan Presiden 14/2007 (GEPPRES) yang berbalikan arah dengan GKLL binaan Ngainun.
Kiprah Ngainun dan kelompoknya yang mengecewakan para korban lumpur Lapindo itu sempat mencuat di Forum Pembaca Kompas. Perilaku kelompok GKLL binaan Ngainun yang menjengkelkan pemungutan ‘uang jasa’ dan menakut-nakuti korban lumpur Lapindo yang tidak mau menerima skema cash and resettlement gagasan Ngainun dan elite GKLL bersama PT Minarak Lapindo Jaya.
Di forum tersebut, Ngainun dinilai telah menjadi garong. Bahkan di portal berpolitik.com dan portal korbanlumpur.info, para korban lumpur misuh-misuh (memaki-maki) kepada Ngainun yang diyakini telah mlokotho (memperdayai) mereka yang sudah tidak punya apa-apa.
Dengan falsafah anjing menggonggong kafilah berlalu, Ngainun dalam situs resminya justru memuji pihak Lapindo sebagai orang yang dermawan kepada para korban Lapindo. Ngainun menulis: “Mereka yang dibayar 20 persen saja sudah makmur apalagi kalau sampai sisa pembayaran 80 persen dibayar. Padahal, apa yang sebenarnya terjadi pada Lapindo, wong belum ada yang diputuskan bersalah tapi sudah dibayar ganti rugi. Ibarat kata, Lapindo itu sudah memberikan sodakoh kepada warga.”
Tulisan ini tidak hanya melukai perasaan para korban lumpur, bahkan membuat para warga ingin melakukan tindakan fisik hingga niat unguk penghilangan nyawa kepada Ngainun. Tak heran jika Prof Dr M Syafii Maarif, tokoh Muhammadiyah di kolom Resonansi harian Republika (18/12/2007) menyebut Ngainun sebagai orang yang “jual tampang” yang hanya meramaikan suasana: “Sudah lebih setahun, kita dihadapkan pada bencana Lapindo yang tak kunjung selesai, sementara penderitaan korbannya sudah sampai di batas toleransi… Ada seniman yang jual tampang ke sana, tetapi hanya untuk menambah heboh. Penderitaan tidak semakin berkurang.”
Entah kenapa, disadari atau tidak, Cak Nun tiba-tiba berubah dari humanis menjadi sosok ironis. Di kalangan Muslim tertindas ia dibenci dan dicaci, tapi di kalangan Kristen malah disukai dan dipuji sampai ke negeri Belanda. Salah satu penyebabnya adalah kefanatikan terhadap paham pluralisme yang direfleksikan dengan Shalawat Global hasil kawin silang antara lagu gereja dengan shalawat Nabi.
Sebagian orang terheran-heran terhadap sensasi, kontroversi dan kreativitas Shalawat Global rakitan Cak Nun itu. Tapi keheranan ini hanya menimpa orang awam saja. Tetapi bagi umat Islam yang berpendidikan, sepak terjang Cak Nun itu sudah kuno dan ketinggalan zaman. Jauh sebelumnya, tahun 1994 sudah beredar lagu rohani gereja berirama lagu shalawat “Thola’al Badru.” Tahun 2000 yang lalu beredar “Qasidah Kristiani” yang mengawinkan lagu-lagu irama padang pasir dengan Kidung Jemaat kristiani. Judul lagu dalam qasidah kristiani ini pun sangat menggelitik, di antaranya: Isa Almasih Qudrotulloh, Allahu Akbar, Laukanallohu Aba’akum, Isa Kalimatullah, Ahlan Wasahlan Bismirobbina, Nahmaduka Ya Allah, dll.
Walhasil, Shalawat Global buatan Cak Nun yang menjiplak Kidung Jemaat Kristen itu sama sekali bukan hal baru, tapi hasil murni meniru (mengekor) terhadap sepak-terjang para pendeta dan penginjil sebelumnya. Wallahu a’lamu bis-showab
:: A. Ahmad Hizbullah MAG [ahmadhizbullah@gmail.com, www.kristenisasi.wordpress.com]
[1] Lagu “Jingle Bells” diciptakan oleh James Pierpont tahun 1859 sebagai lagu untuk pertandingan balap kereta luncur (sleigh ride) yang hanya diadakan saat musim dingin tiba, karena salju adalah media utama bagi kereta luncur. Arti lirik refrain lagu itu kurang lebih demikian “Bel berbunyi sepanjang jalan, sangatlah menyenangkan naik diatas kereta luncur yang dibawa oleh seekor kuda”. Entah apa yang menyebabkan lagu Jingle Bells akhirnya diasumsikan sebagai lagu Natal.
[2] Pada tahun 2005, Cak Nun dan KiaiKanjeng tour di Italia persis ketika Paus Johanes Paulus II wafat. Sebuah festival di mana Cak Nun dan KiaiKanjeng dijadwalkan akan tampil dibatalkan tetapi Cak Nun dan KiaiKanjeng justru diminta Walikota Roma untuk tampil dalam kesempatan pemakaman Paus Johanes Paulus II. Mereka secara khusus menciptakan puisi dan komposisi musik dalam rangka penghormatan terhadap Paus berjudul “O Papa.”