Beranda »
Nuruddin Ar-Raniri, Tokoh Pembaru Islam di Aceh (3)





Ilustrasi

Pertama, intiqal, artinya wujud Allah SWT berpindah kepada makhluk, seperti seseorang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.

Kedua, ittihad, artinya dua wujud menjadi satu, seperti bersatunya emas dengan tembaga.

Ketiga, hulul, artinya wujud Allah SWT masuk ke dalam makhluk, seperti air masuk ke dalam kendi. Keempat, ittisal, artinya wujud Allah SWT berhubungan dengan makhluk, seperti manusia dengan anggota tubuhnya.

Masalah kedua adalah syariat berbeda dengan hakikat. Menurut paham ini, perbedaan Tuhan dengan makhluk hanya dari segi syariat, bukan dari segi hakikat.

Syekh Ar-Raniri menolaknya dengan mengemukakan sejumlah pandangan dari para ulama yang menyatakan kaitan yang sangat erat antara syariat dan hakikat.

Kecakapan dan pengetahuan Syekh ar-Raniri sangat luas dan tidak terbatas hanya dalam pengetahuan agama. Ilmunya juga mencakup berbagai pengetahuan umum, seperti filsafat, sejarah, dan perbandingan agama.

Perjalanan hingga ke Nusantara
Sebagaimana layaknya kota-kota pelabuhan yang lain, Kota Ranir sangat ramai dikunjungi para pendatang dari berbagai penjuru dunia. Ada yang berasal dari Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa. Tujuan utama mereka adalah melakukan aktivitas bisnis dan mencari sumber-sumber ekonomi baru.

Di samping itu, mereka juga berdakwah dan menyebarluaskan ilmu-ilmu agama. Dari Ranir pula, mereka kemudian berlayar kembali menuju pelabuhan-pelabuhan lain di Semenanjung Malaka dan Hindia untuk keperluan yang sama.

Kehidupan para pendatang ini pada akhirnya turut memengaruhi pola kehidupan penduduk lokal. Kemudian, jadilah orang-orang Ranir dikenal sebagai masyarakat yang gemar merantau dari satu tempat ke tempat yang lain.

Pola hidup yang berpindah-pindah seperti ini juga terjadi pada keluarga besar Ar-Raniri sendiri, yaitu ketika pamannya, Syekh Muhammad Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid Ar-Raniri, datang ke Aceh (1580-1583 M) untuk berdagang sekaligus mengajar ilmu-ilmu agama.

Menurut Azyumardi Azra, kebanyakan dari para perantau ini biasanya menetap di kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai Samudera Hindia dan wilayah-wilayah kepulauan Melayu-Indonesia lainnya.

Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Nidia Zuraya